Home >> >>
Bawaslu Sebut Polri dan Kejaksaan Hambat Penyelesaian Pidana Pemilu
Kamis , 19 Jun 2014, 17:13 WIB
Aditya Pradana Putra/Republika
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menilai, Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) malah menjadi penghambat penyelesaian pelanggaran pidana pemilu.

Padahal, Sentra Gakkumdu yang terdiri atas Bawaslu, Polri dan Kejaksaan Agung dibentuk untuk memudahkan koordinasi terkait penegakan hukum pemilu.

"Ada kecenderungan Sentra Gakkumdu justru jadi penghambat. Karena ketiga lembaga ini takut kalau kasus ini tak cukup bukti begitu dilimpahkan ke kepolisian atau ke pengadilan," kata komisioner Bawaslu, Nelson Nasrullah di kantor KPU, Jakarta, Kamis (19/6).

Menurut dia, Polri dan Kejaksaan Agung sangat berhati-hati dalam menerima laporan tindak pidana pemilu. Karena dua lembaga tersebut mempertaruhkan kredibilitasnya jika kasus yang diselidiki ternyata tidak memenuhi unsur pidana karena kekurangan bukti.

"Ke kejaksaan ternyata kasus atau dakwaan itu tidak dikabulkan hakim, mereka merasa gagal. Begitu pula kalau ke kepolisian untuk diproses di penyidikan ternyata tidak cukup bukti," jelas Nelson.

Sementara, lanjut Nelson, Bawaslu juga terbentur dengan aturan. Yaitu, banyaknya unsur yang disyaratkan undang-undang sebelum dinyatakan ada pelanggaran pidana pemilu. 

Bawaslu juga terhambat dengan aturan tentang masa daluwarsa pelaporan dugaan pelanggaran. Dalam UU Nomor 42/2008, batas pelaporan tiga hari setelah peristiwa pelanggaran terjadi.

Semakin sedikitnya tindak pidana pemilu yang sampai ke pengadilan, kata dia, juga menyebabkan laporan semakin berkurang. Nelson menyebut hal tersebut berdampak kepada apatisme masyarakat dalam melaporkan dugaan pelanggaran ke Bawaslu.

"Masyarakat semakin malas melapor ke Bawaslu karena melihat tidak akan ditindaklanjuti. Karena daluarsanya cepat, kadang masyarakat juga malas melaporkan ke Bawaslu," ungkapnya.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, keterbatasan aturan dalam UU Pilpres harus disiasati Bawaslu. Yaitu, dengan meningkatkan upaya pencegahan terjadinya pelanggaran pemilu.

Selain itu, menurut Titi, perlu dipertimbangkan untuk melakukan kodifikasi aturan pemilu. Sebab di Indonesia saat ini aturan mengenai pilkada, pileg, dan pilpres diatur berbeda. Termasuk aturan dalam penangangan pelanggaran pidana pemilu.

Titi juga menilai keberadaan Sentra Gakkumdu perlu dievaluasi. Sehingga, tidak melahirkan deharmonisasi antara Bawaslu dan penegak hukum lainnya.

"Perlu dibentuk hakim khusus penanganan tindak pidana pemilu atau majelis tindak pidana pemilu. Polisi juga menyiapkan penyidik khusus tindak pidana pemilu sehingga penanganan pidana pemilu tidak terpecah," ujarnya.

 

 

 

Redaktur : Mansyur Faqih
Reporter : Ira Sasmita
  Isi Komentar Anda
Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi republika.co.id. Redaksi berhak mengubah atau menghapus kata-kata yang tidak etis, kasar, berbau fitnah dan pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan. Setiap komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.

Republika.co.id berhak untuk memberi peringatan dan atau menutup akses bagi pembaca yang melanggar ketentuan ini.
avatar
Login sebagai:
Komentar