Mantan panglima ABRI Wiranto mengklarifikasi bocornya rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira (DKP) terkait pemecatan panglima Kostrad Prabowo Subianto saat jumpa pers di Jakarta Pusat, Kamis (19/6).
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tudingan mantan panglima ABRI Jenderal (Purn) Wiranto tentang dugaan pelanggaran HAM dan surat rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang ditujukan kepada Prabowo Subianto menunjukkan kegalauan kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla menghadapi Pilpres 9 Juli mendatang.
Ketua umum Partai Hanura tersebut tidak yakin Jokowi-JK akan memenangkan pertarungan, sehingga perlu mengganjal langkah Prabowo-Hatta. “Wiranto tidak yakin Jokowi menang,” ujar pengamat psikologi politik Universitas Indonesia, Dewi Haroen saat dihubungi wartawan, Kamis (19/6).
Menurut Dewi, Wiranto juga tidak menghormati Panglima TNI Jenderal Moeldoko yang beberapa waktu lalu mengatakan akan mengusut kebenaran surat DKP tersebut. Sebagai purnawirawan, kata Dewi, seharusnya Wiranto tahu kapan harus berbicara. Sebab, pernyataan yang masih harus dibuktikan kebenarannya itu hanya akan membuat suhu politik semakin panas.
Namun, Dewi menilai masyarakat sudah cerdas untuk menilai sesuatu. “Wiranto itu ibarat macan ompong yang mengaum. Tidak didengar orang, pembicaraannya sudah basi,” terangnya.
Dewi melanjutkan, jika pernyataan Wiranto memang benar, maka dia semestinya juga terlibat. Pasalnya, saat Prabowo menjabat sebagai panglima Kostrad, Wiranto menjabat panglima ABRI.
“Kalau mau dibongkar, bongkar semua, bukan hanya kasus 1998. Kalau memang Prabowo salah, pasti Wiranto salah, tidak ada yang bisa cuci tangan,” tegas Dewi.
Seperti diketahui, Wiranto menggelar konferensi pers di Menteng, Jakarta Pusat pada Kamis (19/6) siang WIB. Dia menyampaikan bantahan terkait keterlibatan dalam kerusuhan 1998 dan kasus Trisakti, hingga menjelaskan bocornya surat rekomendasi DKP. Dalam konferensi pers itu, Wiranto enggan melayani tanya jawab dengan para jurnalis.