REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik UGM, Ari Dwipayana menilai munculnya hasil hitung cepat atau quick count berbeda sudah diperkirkan sebelumnya.
Menurut dia, itu merupakan bagian dari skenario untuk ciptakan opini yang membingungkan masyarakat terkait hasil hitung cepat. "Quick count tandingan akan dimunculkan sebagai tandingan atas hasil hitung cepat yg dimunculkan oleh lembaga survei kredibel," tutur Ari menanggapi munculnya perbedaan hasil hitung cepat Pilpres 2014 yang dilakukan sejumlah lembaga survei, Rabu (9/7).
Sebanyak enam lembaga survei mengumumkan pasangan Jokowi-JK sebagai pemenang Pilpres 2014 versi hitung cepat. Sedangkan, empat lembaga survei lainnya menyatakan pasangan Prabowo-Hatta sebagai pemenang Pilpres 2014 versi hitung cepat.
''Modus untuk menciptakan quick count tandingan tampak jelas dari kasus tidak digunakannya hasil hitung cepat dari political tracking yang dipimpin Hanta Yudha," cetus Ari. Ia menilai fenomena itu menunjukan tragedi yang menghancurkan independensi dan profesional lembaga survei.
"Lembaga survei dijadikan alat propaganda politik yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah metodologi," tegas Ari. Selain itu, kata dia, upaya untuk memunculkan rilis hitung cepat justru dipakai untuk merancang skenario menyesuaikan hasil real count dengan quick count.
"Inilah bahaya berikutnya ketika akan muncul fenomena vote trading yang berupaya memanipulasi hasil rekapitulasi suara, baik di tingkat desa maupun kecamatan," cetus Ari.