REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pemilu Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (SIGMA), Said Salahuddin mengkritik pemilik lembaga survei yang mengklaim hasil hitung cepat (quick count) lebih akurat daripada proses penghitungn manual KPU.
Menurut Said, peryataan semacam itu terlalu berlebihan. "Berbahaya jika hasil perhitungan resmi KPU dianggap salah bila berbeda dengan hasil hitung cepat lembaga survei," kata Said dalam pesan singkat yang diterima Republika, Jumat (11/7).
Menurutnya, tudingan KPU curang jika hasil hitung manual berbeda dengan quick count sangat kelewatan. Karena tudingan itu muncul sebelum ada bukti kecurangan yang dilakukan KPU. "KPU diancam-ancam seperti itu. Itu intimidasi intelektual namanya," ujar Said.
Ia mengakui kalau quick count memiliki manfaat bagi demokrasi. Namun kehadirannya tidak boleh sampai merusak sistem hukum pemilu.
Said mengatakan, undang-undang sudah menyatakan hasil resmi pemilu adalah melalui penghitungan manual oleh KPU. Karenanya, hasil hitung manual yang harus ditempatkan di atas hasil hitung cepat.
"Jadi jangan dibolak-balik, seolah hasil hitung manual harus mengikuti atau harus dicocok-cocokan dengan hasil hitung cepat lembaga survei," katanya.
Said mengakui selalu ada potensi kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu dalam pelaksanaan rekapitulasi penghitungan suara. Tetapi tidak boleh memastikan ada kecurangan sebelum ditemukan bukti.
"Jadi saya peringatkan kepada lembaga survei yang hasil hitung cepatnya memenangkan Prabowo-Hatta mau pun Jokowi-JK agar tidak memprovokasi masyarakat dengan pernyataan yang menyesatkan," ujar Said.
Sebelumnya Direktur Eksekutif Indikator Politik, Burhanuddin Muhtadi mengklaim hasil hitung resmi KPU tidak akan berbeda jauh dengan quick count yang dikeluarkan lembaganya.
Burhan mengatakan, jika terjadi perbedaan maka berarti KPU melakukan kecurangan.
"Kalau hasil hitungan resmi KPU nanti terjadi perbedaan dengan lembaga survei yang ada di sini, saya percaya KPU yang salah dan hasil hitung cepat kami tidak salah," kata Burhan.
Hal serupa disampaikan Direktur Saiful Mujani Research Consulting, Djayadi Hanan. Dia menyatakan kalau pun ada perbedaan, hanya akan terdapat selisih tidak lebih dari satu persen.
"Kami cukup confident ini tidak akan ada perbedaan dengan KPU. Asal perhitungannya properly done, tanpa ada intimidasi," ujarnya.