REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin mengatakan hasil hitung cepat sebagai produk ilmu pengetahuan tidak boleh merusak sistem hukum Pemilu.
"Sebagai produk ilmu pengetahuan, hitung cepat tentu harus kita akui besar manfaatnya bagi demokrasi. Tetapi kehadirannya tidak boleh sampai merusak sistem hukum Pemilu," ujar Said Salahudin dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (11/7).
Said menanggapi Lembaga Survei Indikator Politik yang mengatakan kalau bukan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla menang pada Pilpres 2014, maka KPU salah hitung rekapitulasi suara. Ia mengkritik pernyataan Burhanudin yang mengatakan kalau hasil hitungan resmi KPU nanti terjadi perbedaan dengan lembaga surveinya, maka hitungan KPU dinyatakan salah.
"Sebagai pegiat di bidang Pemilu saya tidak bisa terima kalau KPU diancam-ancam seperti itu. Itu intimidasi intelektual namanya," kata dia.
Ia mengutarakan pernyataan tentang hasil perhitungan resmi KPU dianggap salah jika berbeda dengan hasil hitung cepat lembaga survei dapat memicu konflik maupun ketegangan antar kedua kubu pendukung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
"Kalau sikap lembaga yang semacam itu dikatakan takabur, biarlah itu menjadi penilaian masing-masing masyarakat. Mereka itu kan umumnya lembaga komersial," kata dia.
Sehingga mereka ingin meyakinkan pihak yang menjadi pengguna jasa mereka atau mungkin ingin membentuk citra lembaga mereka di masyakarat. "Sampai disitu saya kira tidak ada persoalan," ujar dia.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanudin Muhtadi mengatakan kalau hasil hitungan resmi KPU nanti terjadi perbedaan dengan lembaga survei yang menunjukkan bahwa Jokowi-JK memenangi Pilpres, maka hasil hitung cepat KPU salah.
Dalam Pemilu Presiden 9 Juli 2014 diikuti dua pasangan capres dan cawapres, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla.