REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Hitung cepat atau quick count RRI diragukan oleh sejumlah pihak. Bahkan ada yang menuding hitung cepat RRI ada kaitannya dengan pembahasan rancangan undang-undang Radio dan Televisi Republik Indonesia (RUU RTRI) di DPR.
"Saya kira naif bila kita mengerdilkan kemampuan dan peran RRI dalam melakukan quick count," kata dosen Fisip Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Rudi Rohi, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (12/7).
Apalagi, kata dia, sampai mengatakan RRI tidak punya tradisi dan sumber daya manusia (SDM). Atau semisal mengaitkannya dengan persoalan pembahasan RUU RTRI. "Terlihat jelas subyektifitas politik mereka yang menuduh RRI demikian," katanya.
Rudi mengutarakan sejumlah alasan. Pertama, kata dia, bagi yang tidak paham cara hitung cepat akan menganggap SDM jadi persoalan. Padahal, kata dia, sebenarnya sangat mudah bagi yang memahaminya karena cukup menghitung jumlah sampel yang representatif secara jumlah dan sebaran, margin of error, dan tingkat kepercayaan yang baik.
Selanjutnya hanya membutuhkan kedisiplinan dan obyektifitas surveyor dalam mengambil data sesuai sampel yang sudah ditetapkan sebelumnya. "Saya kira RRI memiliki kemampuan dan kapasitas institusi maupun SDM personal untuk melakukannya, apalagi jaringannya luas sehingga jangkauan terhadap TPS sampel tidak jadi masalah," kata dia.
Kedua, lanjut Rudi, jika quick count RRI dikaitkan dengan pembahasan RUU RTRI di DPR, maka tuduhannya sungguh tidak masuk akal. "Hanya orang yang buta terhadap peta politik parlemen dan koalisi partai politik dalam pilpres saja yang akan mengatakan RRI melakukan politik transaksional terkait RUU RTRI."
Hasil quick count RRI, kata Rudi, justru menunjukan kemenangan dari capres yang tidak didukung kekeuatan politik dan koalisi partai politik dengan kursi mayoritas di parlemen. Oleh karenanya, bila masih ada yang menuduh RRI melakukan transaksi dalam pembahasan RUU RTRI, maka sebenarnya secara tidak langsung mereka sedang menuduh kekuatan politik dan koalisi partai politik dengan kursi mayoritas di parlemen yang sinergis dengan koalisi mendukung salah satu capres dalam pilpres kali ini, sedang melakukan politik transaksional.
"Semua tahu bahwa untuk menjadi UU dibutuhkan suara mayoritas di parlemen. Maka dari itu saya pikir kita harus obyektif dan jernih dalam melihat suatu persoalan agar tidak bias dan memanipulasi realitas," ujarnya.