REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pernyataan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanudin Muhtadi menuai banyak komentar berbagai pihak. Dia menyatakan, jika hasil quick count berbeda dengan hitungan KPU maka patut diduga ada kejanggalan dalam rekapitulasi yang dilakukan penyelenggara pemilu.
Direktur Eksekutif Institute Public Institute (IPI), Karyono Wibowo mengatakan, sebenarnya statemen Burhanuddin tidak terlalu berlebihan. Pasalnya, jika mengacu pada kaedah ilmiah, hasil quick count bisa menjadi ukuran untuk mengetahui pemenang pemilu.
"Sejak pemilihan langsung yang dimulai dari Pilpres 2004, lalu pemilukada sejak 2005 hingga saat ini, pemenang pemilu sudah diketahui lebih cepat melalui sistem penghitungan cepat," kata Karyono di Jakarta, Senin (15/7).
Data quick count, menurut Karyono, bisa dipercaya sejauh dilakukan dengan metode dan prosedur yang benar, tidak partisan dan memanipulasi data. Masyarakat Indonesia pun semakin sadar dan percaya dengan hasil quick count selama ini, lantaran hasilnya nyaris sama dengan penghitungan KPU.
"Rata-rata hanya selisih kurang dari satu persen, maksimal satu persen. Jadi wajar saja, kalau Burhanudin mengatakan, justru janggal kalau hasil perhitungan KPU berbanding terbalik dengan hasil quick count," kata analis politik Indo Survey and Strategy (ISS) itu.
Dia melanjutkan, yang menjadi masalah adalah, ada empat lembaga survei yang memenangkan pasangan Prabowo-Hatta. Di sisi lain, ada delapan lembaga survei yang mengunggulkan Jokowi-JK. Itulah yang membuat rakyat bingung karena adanya hasil quick count yang berbeda.
Tetapi, menurut pandangannya, empat lembaga survei yang memenangkan Prabowo-Hatta itu patut dipertanyakan kredibilitasnya. "Karenanya saya terus mendorong agar asosiasi lembaga survei yang ada segera menuntaskan masalah ini. Karena semakin banyak lembaga survei yang datanya tidak bisa dipertanggung jawabkan," katanya.
Direktur Eksekutif ISS, Hendrasmo mengatakan, quick count itu sejatinya adalah alat kontrol. Sehingga kalau terjadi perbedaan terlalu jauh dengan real count maka patut menjadi pertanyaan. Bahkan, kuat dugaan adanya ketidakjujuran dalam proses penghitungan pemilu.
"Namun, terlebih dahulu harus diverifikasi bagaimana proses quick count itu dilakukan, untuk menilai kelayakan atau ketepatan hasil penghitungannya," kata Hendrasmo.
Ketua Umum Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) Nico Harjanto mengatakan, hasil real count KPU bukan tidak mungkin mengalami penyimpangan atau bias. Pasalnya, real count KPU itu dilakukan secara berjenjang, mulai dari tingkat tempat pemungutan suara (TPS), desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga tingkat nasional dan melibatkan banyak pihak.
“Sementara, quick count itu datanya langsung diambil dari TPS dan tidak melibatkan banyak orang seperti rekap manualnya KPU,” kata Nico.