REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Petugas Panwaslu di Kuala Lumpur, Hamzah mengatakan, dugaan pemilih lewat pos memilih 100 persen sebenarnya keliru. Karena dari 246.625 surat suara lewat pos, yang dikirim kembali dan dianggap sah hanya 85.245 suara. Sementara sisanya tidak dikirim kembali.
"Jadi kami kira PPLN ada kesalahan pencatatan. Di berita acara dibuat surat suara tidak terpakai, ini typo," kata Hamzah.
Sementara kecurigaan hasil penghitungan suara lewat dropbox yang jumlahnya lebih besar, menurut Hamzah, sebenarnya bisa dijawab dengan kondisi geografi dan sosial pemilih di Kuala Lumpur.
Menurut dia, teritorial Kuala Lumpur mencakup enam daerah. Yakni Kota Kuala Lumpur, Negeri Putra Jaya, Selangor, Perak, Kelantan, dan Kelano.
"Jarak dari Kuala Lumpur ke daerah-daerah lain itu sangat jauh. Sementara populasi WNI-nya banyak seperti di daerah kilang (pabrik), sehingga digunakan mekanisme dropbox," jelasnya.
PPLN menggunakan tiga metode dropbox. Pertama, diantar ke lokasi dengan kosentrasi WNI yang banyak seperti di pabrik. Kedua, PPLN bekerjasama dengan perusahaan dan menjadikan dropbox seperti TPS. Ketiga, menggunakan dropbox keliling.
"Jadi memang lebih banyak pemilih lewat dropbox dibanding lewat TPS," ujar Hamzah.
Panwaslu, menurutnya tidak menemukan indikasi kecurangan. Dari enam laporan dugaan kecurangan di Kuala Lumpur, setelah diselidiki tidak memenuhi asas formil dan materil sebagai sebuah pelanggaran.
Saksi dari pasangan Prabowo-Hatta, Yanuar Arif menduga ada keganjilan pada jumlah pemilih di Tokyo, Jepang. Jumlah daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb) yang menggunakan hak pilih jauh lebih besar dibanding jumlah DPKTb yang mendaftar sebelum pemungutan suara.