Home >> >>
Rekonsiliasi Nasional Dilakukan, Proses Hukum Harus Tetap Berjalan
Jumat , 18 Jul 2014, 18:26 WIB
Republika/Rakhmawaty La'lang
Prabowo-Hatta dan Jokowi-Hatta menyanyikan lagu Indonesia Raya jelang debat capres putaran final di Jakarta, Sabtu (5/7) malam WIB.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyebut keputusan KPU tanggal 22 Juli 2014 terkait perhitungan final Pilpres 2014 sebagai kondisi krusial tahap pertama. Menurutnya akan ada kondisi krusial lainnya yang akan dilalui yaitu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) bila salah satu calon merasa tidak setuju dengan keputusan KPU itu.

Menurut pengajar Komunikasi Politik Universitas Moestopo Beragama, Jakarta, Bayquni, untuk mengantisipasi kondisi seperti yang disampaikan SBY itu, perlu berbagai macam langkah untuk dilakukan. "Mulai dari pengawalan suara dari hulu hingga hilir, yang hingga saat ini masih dimenangkan oleh pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, hingga munculnya wacana dari wilayah istana tentang akan diadakannya rekonsiliasi nasional," kata Bayquni, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (18/7).

Menurutnya, rekonsiliasi nasional adalah cara yang sangat tepat dilakukan oleh Joko Widodo (Jokowi) bila terpilih nanti setelah keputusan KPU 22 Juli. Karena, kata Bayquni, dengan rekonsiliasi nasional itulah terbangun semangat persatuan yang telah lama tertanam di dalam idiologi bangsa, yaitu pancasila.

Namun, lanjut dia, muncul pertanyaan apakah rekonsiliasi ini dianggap sebagai peredam dua kubu yaitu pasangan nomor satu dan nomor dua yang sedang memanas, atau lebih ekstrem lagi dianggap sebagai alat mereduksi perjuangan relawan yang sudah bertarung hingga titik darah penghabisan dan menerima lawan politik yang kalah masuk kedalam gerbong. "Jawabannya tidak demikian," ujarnya.

Menurutnya, dalam budaya politik masyarakat Indonesia, dalam pemilu kali ini dianggap sangatlah baik, karena massa mengambang sudah berkurang. Yang ada sekarang, kata dia, adalah partisipan, partisipan pasif pun  sudah berkurang bahkan dianggap tidak ada, yang ada hanyalah partisipan aktif. "Mengapa bisa dikatakan demikian? Karena bukti-bukti sudah menunjukan masyarakat secara sadar dan paham melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan, mulai dari mendukung calonnya dengan berkampanye damai hingga pengawalan suara hingga di tangan KPU dan hal itu adalah perjuangan yang luar biasa," ujarnya.

Tentunya, kata Bayquni, Joko Widodo bila menjadi presiden terpilih tidak akan menegasikan itu semua. "Dia tetap akan menegakkan supremasi hukum dengan seadil-adilnya dan memberantas korupsi dengan sebenar-benarnya serta menegakkan HAM dengan setegak tegaknya," katanya.

Menurutnya, rekonsiliasi nasional bukanlah membiarkan kejahatan tidak dihukum, dan menciptakan impunitas bagi pelanggar hak manusia yang serius. Tetapi rekonsiliasi nasional dilakukan untuk menyelesaikan berbagai perbedaan yang ada. "Artinya bila persoalannya tentang kemajuan Indonesia mari lakukan tindakan yang nyata untuk itu dan yang terkena delik hukum biarkan kasus itu berjalan sesuai kaidah hukum dan tidak ada impunitas hukum untuk itu.

Redaktur : Muhammad Fakhruddin
  Isi Komentar Anda
Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi republika.co.id. Redaksi berhak mengubah atau menghapus kata-kata yang tidak etis, kasar, berbau fitnah dan pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan. Setiap komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.

Republika.co.id berhak untuk memberi peringatan dan atau menutup akses bagi pembaca yang melanggar ketentuan ini.
avatar
Login sebagai:
Komentar