REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Proses pemilu di Indonesia belum bersih dari praktik kecurangan, salah satunya dalam hal penerimaan dana-dana kampanye yang dilarang. Indonesia Corruption Watch (ICW) mengidentifikasi sejumlah modus kecurangan yang dilakukan para partisipan pemilu, termasuk tim-tim kandidat capres-cawapres dalam mengakali dana-dana 'siluman' tersebut.
Koordinator Monitoring dan Analisis Anggaran ICW Firdaus Ilyas menjelaskan, ada setidaknya empat modus 'menyiasati' dana kampanye. Pertama, menurut dia adalah dengan menggunakan nama penyumbang palsu.
"Misalnya, memang benar ada nama-nama orangnya, ada NPWP-nya, tapi setelah di-cross-check mereka adalah para karyawan di perusahaan milik para kandidat, yang tidak cukup masuk akal menyubangkan uang dalam jumlah besar," ujar Firdaus, memberi keterangan pers di kantornya, di Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (18/7).
Modus selanjutnya, menurut Firdaus, dana kampanye dari sumber terlarang tidak dicatat, tetapi langsung digunakan dalam kegiatan kampanye. Sumber-sumber yang termasuk kategori terlarang, dicontohkan Firdaus adalah hasil kejahatan korupsi.
Firdaus melanjutkan, cara lainnya adalah dengan mencatat penerimaan tidak dalam jumlah sebenarnya. "Penyumbang perseorangan kan tidak boleh menyumbang lebih dari Rp 1 miliar, nah lebihnya tidak dicatat," ujar dia.
Terakhir, dan yang paling umum dialakukan, menurut Firdaus, adalah pencucian dana terlarang melalui kas partai politik. "Uang tersebut masuk dulu partai, baru kemudian dipindahkan ke rekening kampanye," papar dia.