Petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan hasil rekapitulasi suara tingkat kota/kabupaten saat Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2014
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Akademisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Banten Leo Agustino berpendapat permintaan kubu Prabowo-Hatta untuk menunda pengumuman hasil rekapitulasi pemilihan umum presiden di luar tanggal 22 Juli adalah menggelikan sekaligus menyesatkan. Pasalnya, kata dia, KPU adalah lembaga formal yang diberi tanggung jawab UU untuk menyelenggarakan pemilihan umum, baik pileg maupun pilpres.
"Maka KPU tahu betul kemampuan dan keupayaan lembaganya untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut," kata Leo, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (19/7).
Menurutnya, kendati UU memberikan kesempatan kepada KPU untuk mengumumkan hasil rekapitulasi selama 1 bulan, tapi yang paham akan keandalan KPU adalah KPU sendiri. "Sehingga, apabila ada yang beranggapan penetapan hasil rekapitulasi pada tanggal 22 Juli terlalu dini, ini menggelikan. Dan perlu diingat juga bahwa hasil keputusan rapat pleno KPU setingkat UU," kata Leo.
Karena itu, kata dia, permintaan untuk menunda pengumuman hasil rekapitulasi pilpres sama saja mendelegitimasi KPU. Selanjutnya, Leo menambahkan, jika pun kubu Prabowo-Hatta menyatakan penundaan tersebut perlu dilakukan atas alasan terjadinya kecurangan, maka mekanisme pengajuan ke MK-lah sebenarnya yang menjadi jalan keluarnya. "Bukan mendesak KPU, yang sudah bekerja maksimal, untuk menunda pengumuman rekapitulasi tersebut," ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut dia, tim hukum Prabowo-Hatta mulai dari sekarang harus menyiapkan semua dakwaan-dakwaan tersebut dan bukan mengintimidasi KPU.
Leo menambahkan, permintaan menunda sama sekali absurd. "Yang rakyat hendaki sekarang justru kepastian legal atas pilpes itu sendiri. Jika KPU menundanya, maka kemungkinan 'gesekan' (yang sudah terasa ini) akan semakin menjadi-jadi," katanya.