Home >> >>
Penundaan Rekapitulasi Nasional Bisa Memicu Konflik Horisontal
Sabtu , 19 Jul 2014, 20:34 WIB
Rakhmawaty La'lang/Republika
Prabowo Subianto dan Joko Widodo saling berpelukan jelang debat capres putaran final di Jakarta, Sabtu (5/7).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pengajar Komunikasi Politik, Unpad, Bandung, Kunto Adi Wibowo berpendapat permintaan dari Tim Sukses Prabowo-Hatta untuk menunda pengumuman rekapitulasi nasional pada tanggal 22 Juli 2014 bisa dimaknai beragam oleh rakyat Indonesia. Pertama, kata dia, timses Prabowo beserta pendukung dan relawannya benar-benar menemukan kecurangan yang “massif dan sistematis” sehingga perlu untuk mengulang rekapitulasi suara di beberapa daerah bahkan pemungutan suara ulang (PSU). 

Menurutnya, menunda pengumuman hasil rekapitulasi nasional memang dimungkinkan oleh UU, namun dengan melihat isu konflik horisontal yang justru dihembuskan oleh elite yang bekerja laksana teror bagi rakyat. "Penundaan ini akan lebih mengeskalasi teror dan ancaman akan konflik horisontal," katanya.

Menurutnya, rakyat sudah kebanjiran informasi politik dari pilpres, yang bila diperpanjang lagi maka akan membuat partisipasi politik rakyat yang telah tumbuh akan sontak layu. "Lebih banyak rakyat yang muak dengan perilaku elit politik yang lebih mengawal kemenangannya dari pada mengawal proses demokratisasi yang berlangsung via pilpres," ujarnya. 

Apalagi, kata dia, jika skenario tuntutan ke MK dari pihak yang kalah. Bisa dibayangkan, kata Kunto, tingkat ketidakpedulian yang dilhasilkan dari proses politik yang berorientasi kepentingan elit ini.

Kunto menyoroti istilah kecurangan dalam komunikasi politik di pilpres ini, justru semakin jarang disuarakan oleh timses dan pendukung  pasangan nomor urut dua,

 sebaliknya kata curang semakin sering disuarakan oleh timses dan pendukung pasangan nomor urut satu menjelang hari H pengumuman hasil penghitungan suara nasional oleh KPU. 

 

Menurutnya, tren komunikasi politik ini sangat dipengaruhi oleh tren perolehan suara hasil rekapitulasi yang kini telah mencapai tingkat propinsi. "Dengan tren sekarang bukan tidak mungkin pilpres kali ini berlarut-larut hingga ke MK karena elite lebih memilih mengawal kemenangan daripada mengawal proses yang demokratis," kata Kunto.

Redaktur : Muhammad Fakhruddin
  Isi Komentar Anda
Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi republika.co.id. Redaksi berhak mengubah atau menghapus kata-kata yang tidak etis, kasar, berbau fitnah dan pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan. Setiap komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.

Republika.co.id berhak untuk memberi peringatan dan atau menutup akses bagi pembaca yang melanggar ketentuan ini.
avatar
Login sebagai:
Komentar