Home >> >>
Pengamat: Protes Hasil Pilpres Lebih Berdasarkan Prasangka
Ahad , 20 Jul 2014, 14:28 WIB
antara
Petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan hasil rekapitulasi suara tingkat kota/kabupaten saat Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2014

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pengamat politik dari FISIP Unair, Haryadi berpendapat protes Tim Prabowo-Hatta  dengan cara walk out dan menolak menandatangani berita acara penetapan hasil pilpres provinsi, seperti di DKI Jakarta, Jatim, dan Bangka, tampaknya akan menjadi dasar argumen menggugat kekalahan Prabowo-Hatta ke Mahkamah Konstitusi (MK).

 

Menurut Haryadi, nalar yang dikemukakan seragam, yaitu sebagian besar  curiga terhadap pemberian hak pilih yang diperbolehkan dengan bukti KTP dan keterangan domisili dari kelurahan/desa setempat, tanpa pengantar surat model A-5.  "Jadi, basis nalar dari tindakan protes dan rencana menggugat itu adalah sebatas curiga, bukan mengacu bukti faktual perihal pelanggaran," kata Haryadi, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Ahad (20/7).

Menurutnya, hal ini penting ditegaskan karena nyaris segala  fakta pelanggaran yang riil ada dan dilakukan oleh kubu Prabowo-Hatta maupun kubu Jokowi-JK, sudah di atasi di masing-masing tingkatan diketahuinya pelanggaran (umumnya karena ada pemilih  yang mencoblos dua kali di TPS yang berbeda). Solusi yang telah dilakukan dengan pencoblosan ulang di beberapa TPS. 

Sehingga, kata dia, ketika verifikasi dan penetapan hasil di level provinsi yang masih juga diprotes, serta rencana penetapan hasil secara nasional oleh KPU RI yang kemungkinan akan di demo, maka protes dan rencana demo itu lebih merupakan kecurigaan atau prasangka yang tak berdasar fakta.

Dengan demikian, lanjut Haryadi, jika masih ada para pihak yang mengapresiasi protes atau berencana menggugat hasil pilpres ke MK, maka itu sama artinya dengan mengapresiasi prasangka politik yang tak mendasar. "Patut pula dipersangkakan, bahwa prasangka politik itu merupakan instrumen politik untuk mengurangi "rasa malu" akibat kekalahan kontestasi Pilpres 2014. Pilihan langkah yang salah, tapi bisa dimengerti," ujarnya.

Redaktur : Muhammad Fakhruddin
  Isi Komentar Anda
Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi republika.co.id. Redaksi berhak mengubah atau menghapus kata-kata yang tidak etis, kasar, berbau fitnah dan pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan. Setiap komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.

Republika.co.id berhak untuk memberi peringatan dan atau menutup akses bagi pembaca yang melanggar ketentuan ini.
avatar
Login sebagai:
Komentar