REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pengamat politik dari FISIP Unair, Haryadi berpendapat vonis panitia pengawas pemilu (panwaslu) dan badan pengawas pemilu (bawaslu) di sejumlah daerah untuk coblos ulang di TPS-TPS yang ada pemilih khusus tambahan tanpa memiliki surat model A5 dari daerah asalnya, tapi hanya dengan surat keterangan domisili dari kelurahan/desa dengan menunjukkan KTP, sungguh mengusik prinsip kewarganegaraan.
"Tiba-tiba Bawaslu menjadi anti-kewarganegaraan," kata Haryadi, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Ahad (20/7).
Dikatakan demikian, kata Haryadi, karena dalam konteks pilpres setiap warga negara yang dewasa punya hak pilih harus difasilitasi. Menurutnya, prinsip inilah yang 5 tahun lalu saat Pilpres 2009 dipedomani melalui amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memfasilitasi warga negara yang belum terdaftar sebagai pemilih tapi punya KTP untuk menggunakan hak pilihnya di manapun ia sedang berdomisili. "Best-practices inilah yang oleh KPU hendak disinambungkan sebagai prinsip dalam Pilpres 2014, yaitu dengan prosedur yang membolehkan warga negara yang memiliki KTP dan belum terdaftar sebagai pemilih, untuk menggunakan hak pilihnya di mana pun ia sedang berdomisili dengan pengantar surat keterangan domisili dari kelurahan/desa setempat," kata Haryadi menjelaskan.
Menurutnya, kebijakan KPU ini tak sekadar secara prosedural bersifat demokratis, tapi juga secara substantif berintegritas. Tapi sungguh ironis, lanjut dia, ketika Bawaslu justru menolak prinsip KPU tersebut dan lebih memprioritaskan pada prinsip prosedural semata dengan mengabaikan substansi kewarganegaraan.
Prosedur yang diprioritaskan itu, terang Haryadi, adalah keharusan memiliki surat model A5 dari kelurahan/desa asalnya. Tanpa bekal itu, mereka yang terlanjur menggunakan hak pilih dianggap tak sah dan curang. "Oleh sebab itu divonis harus ada coblos ulang. Itulah yang terjadi di DKI Jakarta dan di Bangka,"kata dia.
Dan, tampaknya, lanjut Haryadi, hal ini menginspirasi tim Prabowo-Hatta untuk mendasarkan gugatan ke MK sebagai bentuk telah terjadinya pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif dalam pilpres, yaitu cukup banyaknya warga negara yang tak berhak telah ikut mencoblos.