Pemantau pemilu mengikuti Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 melalui layar monitor yang tersedia di Gedung KPU, Jakarta, Ahad (20/7).
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum pidana Chudry Sitompul menilai, Komisi Pemilihan Umum (KPU) seharusnya menindaklanjuti saran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang melakukan pemungutan ulang di 5.800 TPS di seluruh Indonesia.
Hal itu terkait dengan adanya indikasi kecurangan di Pilpres 9 Juli lalu. "Bawaslu sebelumnya menemukan indikasi kecurangan di mana ada pemilih tambahan yang membludak di 5.800 TPS," katanya di Jakarta, Selasa, (22/7).
Chudry melihat, dalam sebuah pilpres ada beberapa tahapan yang tidak boleh dilewatkan KPU, salah satunya melakukan koreksi apabila ada indikasi kecurangan.
"Mengapa KPU langsung menunjuk Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai jalan keluarnya? Seharusnya mereka melakukan koreksi terlebih dahulu jika ada kondisi kecurangan," ujarnya.
Sementara pengamat kebijakan publik, Jack Yanda menyatakan, KPU terkesan lepas dari tanggung jawab karena tidak mengikuti rujukan yang dibuat Bawaslu.
"Sekarang ini seolah-olah KPU seperti lempar tanggung jawab dan menyerahkan semuanya kepada MK," kritiknya.
Atas dasar itu, Jack mendesak KPU untuk mengikuti rekomendasi Bawaslu sebagai lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah. "Jika hal tersebut diindahkan bisa saja KPU dipidanakan, jadi pemilu ulang bukanlah hal yang tidak mungkin dilakukan," katanya.