Prabowo-Hatta dan Jokowi-Hatta menyanyikan lagu Indonesia Raya jelang debat capres putaran final di Jakarta, Sabtu (5/7) malam WIB.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dosen Politik FISIP-Unair, Haryadi, berpendapat dalam kontestasi pemilihan presiden, menang dan kalah adalah suatu keniscayaan sekaligus risiko. Masyarakat pemilih, dengan variasi motif memilih dalam rentangan spektrum mulai kekaguman sesaat terhadap pasangan figur, hingga yang paling pragmatis sekali pun telah menghakimi ambisi politik masing-masing kontestan pilpres.
Penghakiman rakyat itu, kata Haryadi, memberi kebahagiaan bagi yang menang, sebaliknya, memberi kedukaan bagi yang kalah. Namun, lanjut dia, ada benang merah yang selaras antara yang menang maupun yang kalah, yaitu butuh waktu untuk menyeimbangkan kembali emosi dan kejiwaannya ke kondisi awal. "Keseimbangan emosi dan jiwa di antara kontestan, timses, relawan, dan para simpatisan itu menjadi faktor determinan kedamaian dan persatuan bangsa," kata Haryadi dalam keterangan tertulisnya, Selasa (22/7).
Menurutnya, bangsa menjadi penting dalam dinamik kontestasi politik pilpres sekalipun. Sehingga, lanjutnya, mereduksi kedamaian dan persatuan bangsa adalah merupakan bentuk penghianatan tertinggi terhadap NKRI, karena, bangunan dasar NKRI adalah bangsa.
Dengan demikian, lanjut dia, dalam situasi kontestasi politik dalam negeri seperti apa pun, maka prinsip "solidaritas dan toleransi atas dasar kepercayaan aktif" di antara elemen-elemen bangsa yang terlibat dalam proses kontestasi pilpres adalah nilai yang tak bisa ditawar. "Bangsa Indonesia, usai Pilpres, butuh perekatan kembali nilai-nilai tersebut untuk menjaga kedamaian dan persatuannya. Bangsa Indonesia itu memang indah dalam damai dan persatuannya," kata dia.