Prabowo Subianto menyapa relawan saat akan meninggalkan rumah Polonia, Jakarta, Selasa (22/7).
REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Pengamat politik dan hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Niko Pira Bunga menilai, Prabowo Subianto memertontonkan sikap politik yang tidak cerdas. Ini menyusul langkah capres nomor urut satu itu yang menyatakan menarik diri dan menolak hasil pilpres.
Ia menyatakan, pengunduran diri itu malah menggambarkan, Prabowo bukan seorang prajurit ksatria yang siap dan rela menerima risiko apa pun.
Prabowo memutuskan menarik diri dari proses pilpres 2014 karena beberapa pertimbangan. Antara lain, ditemukannya tindak pidana kecurangan pemilu yang melibatkan penyelenggara dan pihak asing dengan tujuan tertentu.
Keputusan menarik diri ini dilandasi beberapa hal. Antara lain, proses pelaksanaan pilpres oleh KPU dinilai bermasalah, tidak demokratis, dan bertentangan dengan UUD 1945. Karena banyak aturan main yang dibuat namun dilanggar sendiri oleh KPU.
Selain itu rekomendasi Bawaslu terhadap berbagai kelalaian dan penyimpangan juga diabaikan oleh KPU. Serta ditemukannya sejumlah tindak pidana kecurangan pemilu dengan melibatkan penyelenggara dan pihak asing.
"Secara hukum memang pengunduran diri itu tidak berdampak pada hasil pilpres yang sedang berproses. Tetapi sikap politik ini sama sekali tidak memberikan pendidikan politik yang baik bagi generasi bangsa ini," katanya.
Dia menjelaskan, pleno rekapitulasi penghitungan suara nasional merupakan bagian akhir dari seluruh tahapan pilpres yang sudah berlangsung secara berjenjang. Mulai dari TPS, PPS, PPK dan KPU kabupaten/kota.
Menurutnya, jika ada kecurangan yang dilakukan penyelenggara dan merugikan Prabowo-Hatta, maka mestinya, seluruh tim sudah diperintahkan mundur dan tidak perlu lagi terlibat jauh hari sebelumnya.
"Bukan setelah melihat perkembangan rekapitulasi penghitungan suara dalam pleno nasional, dan tidak menguntungkan pasangan nomor urut dua, lalu mengumumkan pengunduran diri. Ini tidak mendidik," kata Pira Bunga.