REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saksi ahli Prabowo-Hatta, Marwah Daud Ibrahim, memaparkan adanya Daftar Pemilih Tetap (DPT) oplosan. Hal ini dilakukan untuk meraih perolehan suara maksimal. Marwah menyampaikan hal itu saat memberikan keterangan ahli di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (15/8).
DPT ini selalu saja bermasalah. Setiap kali pemilu, DPT selalu tidak pernah beres. Dia mengutip pernyataan timses Jokowi, Khofifah Indar Parawansa, bahwa pemilu bergantung DPT-nya. "Jika DPT bermasalah, maka hasilnya akan bermasalah," imbuh Marwah.
DPT bertambah 6 juta sebagaimana keputusan KPU pada April. Namun data BPS ada 162 juta lebih penduduk di atas 15 tahun lebih. Namun anehnyan mereka belum masuk dalam DPT. Belum lagi pemilih yang meninggal masuk dalam DPT.
DPT menurut Marwah berpotensi disalahgunakan untuk dijadikan pemilih fiktif. Hal ini dilakukan untuk meraih perolehan suara yang maksimal. Jadilah DPT oplosan. "Nama lainnya pemilih bodong yang tidak memiliki NIK. Tidak ada bukti kuat bahwa dia pemilih. Jadilah pemilih oplosan alias pemilih bodong," imbuh Marwah.
Banyak sekali peserta pemilu yang berasal dari luar kecamatan dan luar propinsi ke beberapa TPS. Fakta memperlihatkan berbagai yang dipersoalkan berasal dari DPT oplosan ini. Jumlahnya masif. Dia menyebut tidak kurang dari 19 juta pemilih bodong. Jumlahnya 20 persenan pemilih bodong.
Akhirnya banyak kisruh ketika pemilihan terjadi. Rasa keadilan tidak muncul. Calon merasa tidak diperlakukan dengan adil. "Bagaimana bisa jujur jika DPT-nya oplosan dan bodong," imbuhnya.