REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi II DPR, Agun Gunanjar mengatakan tidak ada pelanggaran undang-undang apabila dana saksi pemilu dibiayai APBN.
Menurut Agun saksi pemilu diatur dalam UU No 8 tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. "Mulai dari saksi di TPS hinga saksi di PPS, PPK, KPU kab/kota, KPU provinsi, dan KPU," kata Agun ketika dihubungi ROL, Senin (3/2).
Agun menyebut, berbeda dengan saksi pemilu, pengawas pemilu TPS justru tidak ada pengaturannya dalam UU Pemilu. Dijelaskannya, UU Pemilu hanya mengatur pengawas pemilu lapangan yang berjumlah maksimal sebanyak 5 orang perdesa.
Politikus Partai Golkar ini membantah usul dana saksi pemilu datang dari Komisi II. Menurutnya usul ini bermula dari rapat yang diinisiasi Menkopolhukan dengan mengundang Bawaslu, KPU, dan perwakilan partai politik. "Awalnya dari rapat di menkopolhukan dan itu pemerintah," ujarnya.
Berangkat dari hal itu Agun mengatakan Komisi II DPR tidak berada dalam posisi memutuskan nasib dana saksi pemilu. Komisi II DPR menyerahkan sepenuhnya polemik dana saksi pemilu kepada partai politik dan pemerintah.
"Karena sudah menjadi polemik menyerahkan sepenuhnya kepada parpol peserta pemilu, dan Pemerintah yang mengawalinya dengan rapat di Menkopolhukam dimana komisi II tidak ikut," katanya.
Dana saksi pemilu tidak terdapat dalam dipa penyelenggaraan pemilu UU APBN 2014. Maka dari itu apabila dana saksi pemilu disetujui maka pembiayaannya diambil dari anggaran cadangan negara yang lazim disebut dengan rekening 99.
Sebelumnya sejumlah LSM yang tergabung dalam Koalisi Untuk Akuntantabilitas Keuangan Negara (KUAK) menilai pengalokasian dana saksi pemilu sebesar Rp 658 miliar merupakan pemborosan sekaligus pelanggaran terhadap UU Pemilu dan UU Partai Politik.