Politik Uang Dominasi Pelanggaran Pemilu 2014
Ahad , 11 May 2014, 19:32 WIB
Peserta aksi menunjukkan pesan petisi di sela deklarasi kampanye Tolak Politik Uang di Plaza Teater Jakarta, TIM Cikini, Jakarta, Jumat (28/2). (Republika/Aditya Pradana Putra)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Kasus politik uang mendominasi pelanggaran Pemilu Legislatif (Pileg) 2014. Kesimpulan itu terungkap dari  hasil teropong pemberitaan pengamanan pemilu yang telah dilakukan Indonesia Indicator (I2), lembaga riset berbasis piranti lunak Artificial Intelligence (AI) untuk menganalisis indikasi politik, ekonomi, sosial di Indonesia melalui pemberitaan (media mapping).

Direktur Komunikasi I2, Rustika Herlambang mengungkapkan, dalam dua bulan terakhir, terdapat 14.556 pemberitaan terkait pengamanan pemilu legislatif di Indonesia. Dari data tersebut, kata dia, terdapat sebanyak 3.318  atau  23 persen yang memuat pemberitaan tentang  pelanggaran pemilu.

"Bentuk pelanggaran yang paling banyak mendapatkan sorotan media adalah politik uang (1.716 ekspos)," ujar Rustika dalam siaran pers yang diterima ROL, Ahad (11/5). Sedangkan, kasus  penggelembungan suara (593 ekspos), pemilu ulang atau pencoblosan ulang (393 ekspos), pelanggaran kode etik (315 ekspos), serta penghitungan ulang (301 ekspos).

Rustika menegaskan,  pelanggaran pemilu terbanyak mendapatkan sorot media adalah politik uang (52%), penggelembungan suara (18%), pemilu ulang atau pencoblosan ulang (12%), pelanggaran kode etik (9%), serta penghitungan ulang (9%).

"Khususnya tentang politik uang, situasi ini dibicarakan di seluruh propinsi di Indonesia. Inilah catatan besar untuk penyelenggaraan pilpres yang lebih baik," cetus Rustika.

Dominannya kasus politik uang, kata dia, menjadi catatan besar terkait kualitas Pemilu Legislatif 2014.  Menurut dia, terdapat banyak indikasi pelanggaran (electoral fraud) di beberapa wilayah. "Aksi politik uang,  terjadi secara masif di seluruh daerah di Indonesia."

Berdasarkan pemberitaan media, politik uang banyak terjadi di wilayah Sumatra Barat, Riau, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur,  dan Papua. "Ekspos tentang politik uang di sejumlah daerah itu lebih besar dibandingkan daerah lainnya di seluruh Indonesia," papar Rustika.

Sementara itu, dari data divisi Humas Mabes Polri, tidak semua propinsi di Indonesia melaporkan adanya politik uang. Kasus politik uang yang masuk terbanyak dari Sulawesi Tengah (10 kasus), Bengkulu (8), NTT (7), Gorontalo (6), Jawa Tengah (5), Sulsel (5), Sultra (4 kasus), Jatim (4), Sulut (3), Maluku (3), dan Bali (2). Sementara Maluku Utara, Papua, Sumut, Sumbar, Riau, Kepri, Banten, DIY rata-rata masuk satu kasus.

Menurut Rustika, pelanggaran lain yang cukup banyak dibicarakan media adalah penggelembungan suara, administratif, dan penyalahgunaan kewenangan oleh penyelenggara Pemilu.

Kasus tersebut terjadi di Riau, Sidoarjo, Sampit, Seluma, Balikpapan, Jawa Tengah, Aceh, Jawa Barat, Sumbawa, Kalimantan Timur, Flores Timur, Pontianak, Yogyakarta, Batam, Sumatera Utara, Jawa Timur, Lampung, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat.

"Data media juga menunjukkan sejumlah pelanggaran kode etik pemilu dilakukan oleh penyelenggara, seperti gratifikasi, suap, pelanggaran administratif dan penggelembungan suara," papar Rustika.

Maraknya electoral fraud pada saat pemilu legislatif, kata Rustika, sangat mengkhawatirkan. "Bukan hanya pada kualitas hasil Pemilu Legislatif 2014, namun juga terkait dengan proses pemilu Presiden pada Juli yang akan datang."

Menanggapi hasil penelitian I2 itu, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Prof Komaruddin Hidayat mengatakan,  konsekuensi dan implikasi dari politik uang membuat ongkos politik amat mahal, baik yg ditanggung parpol maupun para caleg.

"Implikasi lebih jauh adalah mereka berusaha mengembalikan modal yang sudah keluar dan juga mengumpulkan dana untuk biaya politik berikutnya," tutur Komaruddin.

Dengan begitu, kata dia, sangat bisa dipahami dan ditebak jika para politisi terlibat korupsi.

Redaktur : Heri Ruslan
  Isi Komentar Anda
Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi republika.co.id. Redaksi berhak mengubah atau menghapus kata-kata yang tidak etis, kasar, berbau fitnah dan pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan. Setiap komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.

Republika.co.id berhak untuk memberi peringatan dan atau menutup akses bagi pembaca yang melanggar ketentuan ini.
avatar
Login sebagai:
Komentar