Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj didampingi jajaran pengurus PBNU lainnya menggelar konferensi pers di kantor PBNU, Jakarta, Rabu (30/4). (Republika/Yasin Habibi)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdul Wahid Maktub, menyatakan Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj telah memberikan pendidikan politik yang baik bagi warga Nahdliyin.
"Kiai Said telah memberikan pendidikan politik yang baik bagi warga Nahdliyin. Meskipun secara pribadi memilih Prabowo Subianto, namun beliau tetap memberikan kebebasan berpolitik bagi warga Nahdliyin untuk menentukan calon presidennya sendiri," tutur Abdul Wahid saat dihubungi Republika, Sabtu siang (17/5).
Dalam konteks memilih calon Presiden (capres) Republik Indonesia, ujar Abdul Wahid, hal ini merupakan persoalan duniawi semata, bukan persoalan agama. Jadi, masyarakat lebih paham tentang siapa capres yang akan dipilihnya.
Kita jangan mengaitkan persoalan memilih pemimpin, papar Abdul Wahid, dengan persoalan ukhrowi seperti pertanyaan apakah memilih figur tertentu akan berdosa, masuk neraka, masuk surga dan hal-hal sejenis. Pertanyaan itu tidak relevan dalam konteks memilih capres RI.
Untuk masalah-masalah yang bersifat syari'ah atau samawi, jelas Abdul Wahid, kita wajib ta'at pada pemimpin. Namun untuk urusan memilih pemimpin dalam konteks capres atau calon wakil presiden RI, hal itu tidak relevan, karena merupakan urusan duniawi, dan masyarakat lebih tahu.
"Yang paling penting, setiap warga memiliki alasan yang kuat dan dapat mempertanggungjawabkan pilihan politiknya itu, sebagai warga negara RI," ungkap Abdul Wahid.
Agama Islam, tegas Abdul Wahid, memberikan kebebasan bagi penganutnya untuk menentukan pemimpinnya sendiri. Jadi, perbedaan dalam memilih pemimpin tidak perlu dipertentangkan, apalagi menimbulkan perselisihan dan permusuhan diantara sesama kaum Muslimin, terlebih warga Nahdliyin.
Kiai Said, terang Abdul Wahid, memiliki alasan yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan untuk memilih Prabowo sebagai capres. Begitu pula PKB yang memiliki alasan kuat, dapat dipertanggungjawabkan dan memiliki sudut pandang sendiri dalam hal memilih pemimpin.
Jadi, tutur Abdul Wahid, warga Nahdliyin bisa saja berbeda pemahaman dalam soal politik, namun jangan sampai perbedaan itu membuat kita putus hubungan silaturrahim, tidak mau lagi bekerja sama, apalagi bermusuhan satu sama lain.
Lagipula, papar Abdul Wahid, sikap politik pribadi Ketum PBNU dalam hal memilih pemimpin bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak dan tidak berimplikiasi pada pemahaman syari'ah atau keagamaan.
"Kita harus bisa bersikap egaliter dan saling menghormati dalam memahami perbedaan, termasuk memilih pemimpin. Jika perbedaan sikap politik ini disikapi dewasa, tentu akan menjadi rahmatan lil a'lamin bagi ummat Islam, khususnya warga Nahdliyin,"ujarnya.