Pasangan Capres-cawapres PDIP Joko Widodo (kiri) dan Jusuf Kalla (kanan) berjalan saat mendatangi Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta, Senin (19/5).
REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Calon wakil presiden (Cawapres) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Muhammad Jusuf Kalla (JK), dianggap tidak tepat mendampingi calon presiden (capres) PDIP, Joko Widodo (Jokowi).
Ketua Pimpinan Pusat (PP) Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), Dr. Mahmud Syaltout, DEA, mempertanyakan alasan Jokowi memilih JK sebagai kandidat cawapres-nya.
''Pemilihan JK sebagai cawapres Jokowi sangat tidak tepat. Pasalnya, JK sudah berusia lanjut dan ada dugaan melakukan kolusi dan nepotisme dalam perusahaan keluarganya,'' tutur Syaltout saat dihubungi ROL, Rabu siang (21/5).
JK juga tidak konsisten dengan ucapannya sendiri. Dalam pemilihan umum presiden (pilpres) 2009 lalu, papar Syaltout, JK menyatakan akan kembali ke kampung halamannya, Makassar, jika tidak terpilih lagi sebagai Presiden Republik Indonesia (RI).
Namun, jelas Syaltout, nyatanya sekarang bagaimana? JK kembali mencalonkan diri menjadi cawapres mendampingi capres PDIP, Jokowi, karena syahwat politiknya terlalu besar.
Sikap mencla-mencle ini, terang Syaltout, tidak pantas dimiliki seorang kandidat cawapres. Apalagi usia JK sudah tua. Seharusnya, Jokowi bersikap tegas untuk tidak menjadi "pemulung politik".
''Jokowi seharusnya memilih cawapres yang masih muda. JK sudah berumur 72 tahun. Kok seperti nggak ada tokoh nasional yang lain aja? Belum lagi ada dugaan JK terkait dengan kasus Century,'' papar Syaltout.