Seorang warga berdoa pada kunjungan Calon Presiden Joko Widodo saat kampanye mengunjungi pengungsian Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, sumatera Utara, Selasa (10/6).
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam debat capres, Joko Widodo (Jokowi) sempat menyatakan mampu memperkuat pembangunan jika nanti terpilih sebagai presiden. Ia juga optimistis korupsi mampu diberantas jika pengawasan terus digalakkan.
Namun, Jokowi dinilai gagal dalam melakukan pengawasan bus Transjakarta. Sehingga menimbulkan dugaan tindak pidana korupsi.
Pengamat politik Jari Nusa, Deni Lesmana mengatakan, Jokowi tidak memiliki otensitas mengenai pengawasan. Bahkan, cenderung gagal dalam melakukan pengawasan korupsi, terutama kasus Transjakarta.
"Otensitas Jokowi bicaran pengawasan pembangunan ternoda oleh kasus korupsi Transjakarta" kata Deni, di Jakarta, Selasa (10/6).
Pengamat ekonomi politik Bobby Maengkom menambahkan, pernyataan Jokowi itu bertolak belakang dengan apa yang dilakukannya di Jakarta. Karena baru satu tahun menjabat gubernur DKI Jakarta, kasus korupsi kemudian mengemuka dan menjerat pegawai bawahannya.
Menurutnya, kasus korupsi bus Transjakarta menjadi bukti ketidakmampuan Jokowi melakukan pengawasan. "Baru satu tahun terjadi kasus korupsi 2,3 triliun,” katanya.
Ia mengatakan, anggaran bus Transjakarta sangat besar. Sehingga langsung berada di bawah tanggung jawab dan kewenangan gubernur.
Minimal, ucapnya, Jokowi melakukan pengawasan dan pengendalian internal terhadap bawahannya. Namun yang sangat disayangkan, Jokowi malah bersikap seolah tidak tahu menahu.
"Saat ini mantan kepala dinas perhubungan sudah jadi tersangka. Tapi kenapa Jokowi seperti lepas tanggung jawab dan menunjukkan bahwa dia tak tahu apa-apa," ujarnya.
Ketidaktahuan Jokowi, lanjutnya, justru menunjukkan sikap abai terhadap tugas pengawasan. Sehingga, pandangan Jokowi yang menyatakan bahwa pengawasan jadi kunci pembangunan hanya pernyataan kosong belaka. "Kontradiktif dengan kasus bus Transjakarta di pemerintahan DKI Jakarta," tegasnya.