Komisioner Bawaslu Nelson Simanjuntak (kanan) dan Nasrullah (tengah) menunjukkan tabloid Obor Rakyat yang diduga melanggar aturan kampanye pilpres di Kantor Badan Pengawas Pemilu, Jakarta, Rabu (4/6).
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak bisa menindaklanjuti dugaan pelanggaran pemilu oleh Tabloid Obor Rakyat. Lantaran, tidak ada klausul dalam UU Pemilihan Umum Presiden yang tepat untuk menindak dugaan kampanye hitam yang ditujukan kepada pengelola tabloid tersebut.
"Kami tidak bisa tindaklanjuti dengan UU Pemilu. Jika dikaitkan dengan Pasal 44 ayat 1 UU 42/2008, pengelola Obor Rakyat ini bukan pelaksana kampanye, jadi dari subjek hukum tidak tepat," kata Komisioner Bawaslu Nelson Simajuntak, di gedung Bawaslu, Rabu (18/6).
Menurut dia, dalam UU Pilpres, larangan-larangan kampanye ditujukan kepada pelaksana, peserta, dan petugas kampanye. Sementara pengelola atau redaksi Obor Rakyat bukan pelaksana, peserta atau petugas kampaye pasangan capres tertentu.
Namun, lanjut Nelson, karena menilai muatan yang diberitakan Obor Rakyat tersebut berpotensi mengakibatkan gangguan keamanan dan ketertiban nasional, Bawaslu telah mengirimkan surat ke Kepolisian Republik Indonesia untuk menindaklanjuti kasus Obor Rakyat mengggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Polri bisa menindaknya menggunakan Pasal 157 tentang kejahatan terhadap ketertiban umum, Pasal 310 tentang hinaan. Jadi kami bukan melimpahkan, tapi melaporkan ke Polri," kata dia.
Sebelumnya, tim hukum dan advokasi pasangan capres Jokowi-JK melaporkan tabloid Obor Rakyat ke Bawaslu. Isi tabloid setebal enam halaman yang disebarkan ke sejumlah pondok pesantren, masjid, dan madrasah di Pulau Jawa itu diduga berisi kampanye hitam yang merugikan Jokowi-JK.
Antara lain menyebut Jokowi sebagai capres boneka dan membahas isu bernada suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) kepada Jokowi.