REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Panglima ABRI Jenderal (Purn) Wiranto mengaku tidak berniat melakukan kampanye hitam atas capres Prabowo Subianto terkait pernyataannya yang menyebut Prabowo diberhentikan karena kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
"Saya telah memberikan penjelasan secara proporsional kepada Bawaslu, intinya adalah tidak ada niat, itikad maupun keinginan saya untuk melakukan kampanye hitam, karena saya paham bahwa kampanye hitam itu tidak dibenarkan," katanya seusai diperiksa Badan Pengawas Pemilu di Jakarta, Selasa (24/6).
Wiranto menjelaskan pada saat menyampaikan rilis terkait pemberhentian Prabowo Subianto dari Pangkostrad karena kasus penculikan aktivis 1997-1998.
"Saya memberikan press rilis waktu itu, karena saya harus menjelaskan atas dorongan, atas permintaan, dan atas keinginan berbagai pihak karena saya sebagai Menhankam/Pangab waktu itu," jelas Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) itu.
Wiranto juga mengaku permintaan rilis tersebut dilakukan atas permintaan tim kampanye pasangan calon Prabowo-Hatta. "Juga dari tanya jawab Pak Prabowo dan Pak Jokowi saat debat pertama itu disampaikan beliau (Prabowo) bahwa soal (pelanggaran) HAM, masa lalu, 'tanyakan saja pada atasan saya'," ujarnya.
Wiranto diperiksa Bawaslu terkait dugaan pelanggaran kampanye, khususnya upaya menjatuhkan lawan, dengan melontarkan pernyataan bahwa penculikan aktivis dilakukan atas inisiatif Prabowo, bukan perintah Wiranto sebagai Panglima ABRI saat itu.
Sebelumnya, Wiranto menyiratkan mantan Panglima Konstrad sekaligus calon presiden Prabowo diberhentikan secara tidak hormat dari instansi militer pada tahun 1998, karena berinisiatif menculik para aktivis.
"Dalam kasus tersebut pemberhentian Pak Prabowo sebagai Pangkostrad disebabkan adanya keterlibatan dalam kasus penculikan pada saat menjabat Danjen Kopassus. Perbuatan tersebut telah dianggap melanggar Saptamarga, Sumpah Prajurit, etika keprajuritan serta beberapa pasal KUHP. Dengan fakta itu tidak perlu diperdebatkan lagi status pemberhentiannya, masyarakat sudah dapat menilai," kata Wiranto.
Pertimbangannya sebagai Panglima ABRI saat itu adalah dengan membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP), karena sesuai prosedur dalam TNI bahwa apabila ada perwira menengah atau perwira tinggi terlibat satu kasus cukup berat, maka Panglima tidak bisa serta merta mengambil keputusan yang potensial dipengaruhi kepentingan pribadi.
"Pada kasus penculikan aktivis 1998 saya sebagai Panglima ABRI membentuk DKP untuk memastikan seberapa jauh keterlibatannya dalam kasus tersebut," ujar Wiranto.