TV One dan Metro TV Motor Munculnya 'Diktator' Media
Kamis , 03 Jul 2014, 13:48 WIB
antara
Seorang anggota kepolisian mengecek kerusakan yang terjadi di kantor Tv One Biro Yogyakarta, Rabu (2/7) malam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Media telah dimanfaatkan secara berlebihan oleh pemiliknya untuk kepentingan politik pribadi. Masyarakat setiap hari disuguhi dengan pemberitaan yang tidak membuat nyaman hati mereka. Ketidakberimbangan pemberitaan dianggap sebagai hal yang biasa.

Pengamat komunikasi politik dari Universitas Diponegoro Semarang Muhammad Yulianto mengatakan, yang dirugikan atas perilaku media hari ini adalah masyarakat. Masyarakat yang seharusnya menerima informasi berupa fakta dan keseimbangan berita dipaksa menonton suguhan yang sejatinya adalah subyektifitas pemilik media.

"Fenomena ini memunculkan diktator media yang dimotori Metro TV dan TV One," katanya saat dihubungi Republika, Kamis (3/7). Mereka, kata dia, menghegomoni dan menguasai dengan sepihak sesuai kepentingan politik pemiliknya. Hal ini tentu merusak entitas media sebagai instrumen dan pilar demokrasi.

Menurut Yulianto, protes yang dilakukan sebagian masyarakat terhadap TV One dinilai sebagai bentuk konsekuensi logis atas pemberitaan yang ditampilkan. Ketidakseimbangan pemberitaan TV One memicu kemarahan dari simpatisan dan pendukung salah satu kandidat calon presiden dan wakil presiden yang 'diserang'.

Yulianto mengatakan, penyegelan kantor TV One yang terjadi di Yogyakarta oleh sekelompok massa merupakan dampak atau akibat dari media yang sudah tidak netral. Media dimanfaatkan secara berlebihan oleh pemiliknya yang terlibat dalam dukung mendukung capres dan cawapres.

"Kebebasan media dimanfaatkan secara berlebihan dan dijadikan pemiliknya sebagai instrumen politik. Inilah akibatnya," katanya.

Menurutnya, aksi protes yang dilakukan kader dan simpatisan PDIP di Yogyakarta dan studio TV One di Jakarta merupakan sesuatu hal yang wajar. Sebab, dalam konteks ini PDIP seolah dipojokkan dengan pemberitaan TV One yang mengangkat isu sensitif yakni adanya komunis tanpa ada konfirmasi dari pihak PDIP.

Kejadian ini, kata dia, adalah refleksi kritis dan juga sebagai bentuk kritik tajam karena ketidaknetralan media. Sebagai pilar demokrasi, ruh media dinilai telah runtuh dan kehilangan wibawa. "Pelanggaran etika jurnalistiknya sudah parah," ujarnya.

Redaktur : Muhammad Hafil
Reporter : mas alamil huda
  Isi Komentar Anda
Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi republika.co.id. Redaksi berhak mengubah atau menghapus kata-kata yang tidak etis, kasar, berbau fitnah dan pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan. Setiap komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.

Republika.co.id berhak untuk memberi peringatan dan atau menutup akses bagi pembaca yang melanggar ketentuan ini.
avatar
Login sebagai:
Komentar