Warga menggelar aksi damai "Stop Kampanye Hitam" di Bunderan HI, Jakarta Pusat.
REPUBLIKA.CO.ID,BOGOR--Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Dr Arif Satria mengatakan pemerintah harus menjadi wasit untuk mendinginkan suhu politik yang memanas akibat kampanye hitam.
"Kondisi saat ini sudah tidak wajar lagi, saling menghujat antar -pendukung. Pemerintah harus menjadi wasit, kalau ada hal-hal yang di luar hukum harus ditindak," kata Arif kepada Antara di Bogor, Jumat.
Arif mengatakan, hujat menghujat, saling serang hingga caci memaki bukanlah budaya bangsa Indonesia.
Menurut Arif, polarisasi antara dua kubu calon presiden dan wakil presiden saat ini sudah terjadi, antara kubu nomor 1 dan nomor 2 saling membenarkan.
Polarisasi ini menimbulkan kristalisasi para pendukung yang menganggap masing-masing calon sebagai sosok yang harus dipuja, tanpa menyadari kelebihan dan kekurangan masing-masing calon. "Kultur kita bukan serang menyerang. Ini sudah terjadi pergeseran nilai-nilai budaya," kata Arif.
Untuk mencegah hal itu, lanjut Arif, baiknya tim level elit dari calon presiden serta calon wakil presiden menunjukkan kepada publik bahwa di antara keduanya saling bersahabat bukan bersaing.
"Ini seolah-olah ajang Pilres menjadi persaingan hidup mati, masing-masing menggunakan simbol-simbol bahkan berujung pada SARA. Yang berkembang saat ini, untuk kedua kubu sudah tidak sehat lagi," kata Arif.
Arif menghimbau masyarakat yang menjadi pendukung para calon presiden dan calon wakil presiden untuk melihat secara rasional.
Masyarakat hendaknya menilai sosok para calon dari gagasan, yang dikombinasikan dengan pengalaman tugas masing-masing.
"Liat gagasan masing-masing pasangan calon, masuk akal atau tidak sudah menjabat persoalan yang terjadi di bangsa ini atau tidak. Jangan hanya sekedar mendukung tanpa tahu visi dan misinya," ujar Arif.
Arif berpendapat, memanasnya suhu politik dengan kampanye hitam dikarenakan hanya ada dua calon. Jika terdapat tiga calon, situasi dan kondisi tersebut tidak mungkin terjadi.
Terlebih lagi kedua calon memiliki kelebihan dan keunggulan masing-masing yang sangat kontras.
Ia mencontohkan saat pemilihan presiden di Amerika Serikat, kritikan, dukungan dan cacian terjadi lebih parah dibanding di Indonesia.
Tapi, lagi-lagi Arif mengingatkan bahwa saling hujat menghujat, menjatuhkan lawan bukanlah kultur Bangsa Indonesia yang dikenal santun dan saling menghormati.
Kristalisasi, wajar pemujaan.
Terkait kampanye hitam dan penyeraban isu SARA, menurut Arif, elit politik masing-masing kubu harus bisa mengendalikan bawahannya.
"Karena Bawaslu atau Panwaslu di daerah pasti kerepotan mengurus ini. Jadi bagaimana elit-elit politik pendukung ikut membantu mengendalikan bawahannya," ujar Arif.
Arif menambahkan, masyarakat hendaknya memahami, siapapun yang akan menjadi pemimpin harus diterima."Jangan rendahkan mereka. Jika mereka kita rendahkan, kan tidak elok. Rakyat mengolok pemimpin sendiri," kata Arif.
Pilpres 2014 diikuti dua pasangan capres-cawapres yaitu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla.