REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Studi Sosial Politik (Puspol), Ubedilah Badrun, menyatakan pernyataan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanudin Muhtadi soal lembaga surveinya paling unggul ketimbang KPU, merupakan paling provokatif sepanjang sejarah pemilu pasca-reformasi.
"Menurut pandangan akademik saya, itu paling provokatif dan paling absolut sepanjang sejarah pemilu Indonesia pasca-reformasi," kata dia dalam keterangan tertulis, Sabtu.
Ia mengatkan, meragukan KPU merupakan hal yang sah-sah saja. Tetapi kalau sampai menganggap "quick count" sebagai kebenaran mutlak itu yang keliru.
Secara akademik "quick count" itu hanya sampel, validitasnya tidak 100 persen karena ada dua faktor penting yang menentukan validitas Quick Count. Dua faktor itu yaitu faktor penentuan sampel TPS yang harus mempertimbangkan keragaman segmentasi pemilih dan keragaman afiliasi politik pemilih dan kejujuran entri data suara dari surveiyor di TPS dan kejujuran pengolah data di pusat data Quick count.
Karena itu, tidak ada kebenaran mutlak dari Quick Count. Ia juga mengatakan, selain itu data kekeliruan Quick Count juga pernah terjadi di Indonesia saat pilkada di Jawa Timur tahun 2008 dan pilkada di Bali tahun 2013.
Sebelumnya, kepada sejumlah media, Direktur Eksekutif Indikator Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan hasil surveinya adalah yang paling benar. Bahkan ia mengatakan jika hasilnya berbeda, maka penghitungan KPU yang salah.
"Kalau hasil hitungan resmi KPU nanti terjadi perbedaan dengan lembaga survei yang ada di sini, saya percaya KPU yang salah dan hasil hitung cepat kami tidak salah," kata Burhan di Jakarta, Kamis (10/7).