REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seringkali lembaga atau komunitas dijadikan sebagai alat politik untuk mencapai tujuan. Sebaliknya, Muhammadiyah menggunakan politik sebagai media dakwahnya. Sehingga tidak ada ketertundukkan Muhammadiyah terhadap sesuatu.
“Sikap politik Muhammadiyah, netral aktif,” ujar salah satu anggota Muhammadiyah , Rohim dalam diskusi bertajuk Roundtable Discussio : Political Engagement of Muhammadiyah di sekertariat CDCC, belum lama ini.
Lebih lanjut ia menjelaskan netral aktif menimbulkan dua persepsi yang berbeda. Pertama, netral aktif diartikan sebagai menjaga jarak yang sama. Kedua, menjalin hubungan kedekatan yang sama.
Muhammadiyah sebagai tenda besar organisasi Islam, tidak bisa memposisikan diri pada pandangan politik tertentu. Ini dilihat dari kaca mata latar belakang anggota Muhamadiyah yang beragam. Mereka masing-masing memiliki pandangan politik tertentu.
Kepada Prof. Eunsook Jung selaku pembicara, Rohim mempertanyakan bagaiamana sikap Muhammadiyah seharusnya pasca pemilihan presiden mendatang. Mengingat Muhammadiyah bersikap netral aktif.
Pertanyaan Rohim disambut antusias oleh pembicara asal Korea itu. Ia mengatakan, dengan netralitas aktif yang dianut, sepatutnya Muhammadiyah tidak harus terlalu kritis. Namun ketika pemerintah mengabaikan masayarakat terutama kalangan menengah ke bawah, Muhammadiyah harus bisa mengkritinya.
“Sikap Muhammadiyah tergantungpada sikap pemerintah. Jika pemerintah peduli terhadap Inodonesia, Muhammadiyah tidak harus terlalu kritis. Tetapi kalau pemerinth tidak memihak pada kalangan-kalangan bawah yang memerlukan bantuan, Muhammadiyah harus kritis.” terang Prof. Jung.