REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam menyikapi perbedaan hasil quick count, LIPI menilai tak ada yang perlu dipersulit. Alasannya, riset untuk keperluan hitung cepat hasil pemilu ini hanya mempersoalkan jumlah suara lalu mengkalkulasikannya.
Peneliti senior LIPI, Anas Saidi, mengatakan hitung cepat lembaga survey ini adalah cerminan realitas. Menentukannya, kata dia, tak perlu variable khusus. Hal yang perlu dikhawatirkan hanya masalah metodelogi dan margin error-nya saja.
"Hitungan cepat itu mudah, jangan di buat rumit. Kecuali orang di belakangnya yang tak beretika dalam melakukan survey," kata Anas dalam diskusi di Universitas Paramadhina, Kamis (17/7).
Dia menambahkan, setiap profesi tentu memiliki etika yang mengikatnya, dan untuk peneliti, mereka tak boleh berbohong. Ilmuan dianggap tak netral pun bukanlah persoalan yang harus dibesarkan, karena itu merupakan sikap politik.
Menurut dia, terlalu naif kalau seorang ilmuwan netral, lalu hanya menjadi penonton atas sebuah kontestasi pemilu. Mereka boleh saja berpihak kepada salah satu kandidat, namun tak boleh berbohong dalam pemaparkan fakta penelitian.
"Namun, ilmuan juga karena kekuasaan bisa mengatakan 2+2 hasilnya adalah 10," ujar dia.