REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanudin Muhtadi, menilai adanya hitung cepat atau 'quick count' dapat menjadi alat untuk mendeteksi kecurangan 'real count' penyelenggara pemilu.
"Kalau 'quick count' itu kan langsung dari TPS, dari tangan pertama, langsung direkapitulasi, dan diketahui hasilnya. Sedangkan 'real count' banyak tangan yang terlibat," kata Burhanudin dalam diskusi bertajuk 'Quick Count, Etika Lembaga Riset, dan Tanggung Jawab Ilmuwan' di Universitas Paramadina, Jakarta Selatan, Kamis (17/7).
Prediksi siapa kandidat yang menang hanya dianggap bonus dari misi suci lembaga survei. Menurut dia, proses perhitungan suara KPU memakan waktu yang panjang dan berjenjang, yakni mulai dari TPS, kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan pusat.
Setiap tahapan perhitungan terdapat potensi kecurangan dan manipulasi suara, berbeda dengan hitung cepat. "Jokowi-JK hanya punya saksi di TPS 83 persen, sedangkan Prabowo-Hatta 89 persen. Itu hanya TPS, bagaimana tingkatan atas? Di sanalah peran lembaga survei melalui 'quick count'," ujar dia.
Selain itu, antar lembaga survei seharusnya tidak memiliki selisih perolehan hasil suara yang jauh, kecuali sebatas /margin error. Siapapun penyandang dana lembaga tersebut, mereka harus berani menampilkan data dengan konsekuensi apapun nantinya.
"Misalkan Prabowo-Hatta yang unggul, saya akan katakan yang sebenarnya meskipun penyandang dana mengancam tak akan melunasi pembayarannya," kata Burhanudin.
Ia mengatakan, seharusnya perhitungan cepat lembaga survei dapat memberikan kontrol pada proses rekapitulasi KPU, bukannya terbalik.
Menurut dia, apa yang dikatakan Jaringan Suara Indonesia (JSI) dan Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) bahwa hasil 'quick count' harus menunggu putusan KPU adalah hal keliru."Keberadaan mereka sebagai lembaga survei harusnya dapat membantu mengawal proses demokrasi ini," ujarnya.