Sigma: Jokowi Capres Terpilih Belum Presiden Terpilih
Kamis , 24 Jul 2014, 16:33 WIB
Republika/Agung Supriyanto
Jokowi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin, mengatakan Joko Widodo belum dapat dikatakan sebagai Presiden terpilih dan benar-benar akan menjadi Presiden RI ke-7 sampai ada pelantikan.

"Jokowi memang telah dinyatakan sebagai pemenang Pilpres 2014 oleh KPU, tetapi sepanjang belum ada pelantikan, maka dia belum bisa dikatakan sebagai Presiden terpilih dan belum benar-benar akan menjadi Presiden RI ke-7," kata di Jakarta, Kamis.

Menurut hukum, lanjutnya, status Jokowi sampai dengan hari ini adalah Calon Presiden Terpilih, bukan Presiden Terpilih.

"Harus dibedakan antara Calon Presiden terpilih dengan Presiden terpilih agar tidak menimbulkan kerancuan hukum. Dalam hukum itu segala sesuatunya harus mengandung kepastian. Nah, masalahnya dia belum pasti benar akan menjadi Presiden terpilih," katanya.

Ia mengatakan Joko Widodo masih harus melewati dua fase pertarungan lagi yaitu pertarungan hukum dan pertarungan politik.

"Untuk bisa disebut sebagai Presiden terpilih, Jokowi sesungguhnya masih harus melewati dua fase pertarungan lagi, yaitu pertarungan hukum dan pertarungan politik," ujar dia.

Menurut dia, dia harus menang dulu dalam pertarungan hukum melawan Prabowo di Mahkamah Konstitusi (MK) apabila capres nomor urut 1 itu mengajukan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).

"Di MK nanti, bisa saja Keputusan KPU yang menetapkan Jokowi sebagai calon Presiden terpilih dianulir. MK berwenang untuk mengganti pemenang Pilpres. Sebagai contoh, dalam PHPU Pemilu kepala daerah, hal yang semacam itu pernah terjadi, di antaranya kasus PHPU Pemilukada Kotawaringin Barat," kata dia.

Andaipun di MK nanti Mahkamah menjatuhkan Putusan yang menyatakan menolak permohonan dari kubu Prabowo, maka kemenangan Jokowi dalam pertarungan hukum masih harus berlanjut ke pertarungan berikutnya, yaitu pertarungan politik antarparpol pendukung pasangan capres-cawapres di DPR.

"Dalam pertarungan ini parpol pendukung Jokowi harus mampu menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk melantik Jokowi. Disitulah Jokowi akan diambil sumpah sebagai Presiden, sekaligus mengubah status dirinya dari seorang calon Presiden terpilih menjadi Presiden terpilih," kata dia.

Ia mengungkapkan pertarungan politik ini adalah pertarungan yang paling berat. Dengan komposisi kursi DPR yang lebih didominasi oleh partai-partai pendukung Prabowo, yaitu sebanyak 353 kursi, maka menjadi tidak mudah bagi parpol pendukung Jokowi yang hanya memiliki 207 kursi menggelar sidang paripurna MPR untuk melantik Jokowi, sebab pelantikan Presiden harus dilakukan oleh MPR.

"Kalau parpol koalisi Prabowo sampai menolak menggelar sidang paripurna sehingga MPR tidak bisa bersidang, maka PDI-P, PKB, NasDem, dan Hanura harus berjuang dengan cara yang lain, yaitu dengan menggelar sidang paripurna DPR untuk melantik Jokowi. Itu mekanisme pelantikan atau pengangkatan sumpah Presiden terpilih apabila MPR tidak dapat bersidang," ujar dia.

Masalahnya adalah, lanjutnya, kalau DPR ternyata juga tidak dapat bersidang karena parpol koalisi Prabowo tetap menolak, maka peluang terakhir untuk melantik Jokowi sebagai Presiden adalah dengan menghadirkan pimpinan MPR. Itu mekanisme pelantikan dalam kondisi terburuk menurut Pasal 162 ayat (3) UU Pilpres.

"Jadi, jika MPR tidak dapat menggelar sidang paripurna untuk melantik Presiden dan wakil Presiden terpilih, alternatifnya adalah dengan menggelar sidang paripurna DPR. Tetapi kalau DPR juga tidak bisa menggelar sidang paripurna, maka pelantikan dilakukan di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung," kata dia.

Kalau pimpinan MPR nantinya didominasi oleh partai koalisi pendukung Prabowo yang lagi-lagi menolak untuk melantik Jokowi, maka disinilah akan muncul malapetaka politik, karena rakyat sebagai pemilik suara akan bertindak. "Sungguh saya tidak bisa membayangkan jika kondisi itu benar-benar terjadi," ujar dia.
 

Redaktur : Taufik Rachman
Sumber : antara
  Isi Komentar Anda
Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi republika.co.id. Redaksi berhak mengubah atau menghapus kata-kata yang tidak etis, kasar, berbau fitnah dan pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan. Setiap komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.

Republika.co.id berhak untuk memberi peringatan dan atau menutup akses bagi pembaca yang melanggar ketentuan ini.
avatar
Login sebagai:
Komentar