REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan pembukaan kotak suara merupakan hak KPU. Dalam menyiapkan dokumen yang diperlukan sebagai sebagai bukti dalam sidang sengketa hasil pemilu presiden di Mahkamah Konstitusi (MK).
Komisioner KPU, Ida Budhiati mengatakan, kebijakan yang diambil KPU bisa dijelaskan secara teoritis dan yuridis. Dalam perspektif teori hukum, pembuktian para pihak mempunyai kedudukan yang sama secara patut di muka hakim untuk menanggung beban pembuktian (audi et alteram partem). Secara teknis teori tersebut diatur dalam Peraturan MK nomor 4 tahun 2014.
"Ketentuan Pasal 29 ayat 2 menyebutkan Termohon menyampaikan jawaban disertai alat bukti yang mendukung Jawaban Termohon. Dengan demikian, kebijakkan KPU menyiapkan dokumen sebagai alat bukti merupakan pelaksanan terhadap perintah Undang-Undang," kata Ida saat dikonfirmasi, Jumat (1/8).
Langkah KPU dalam menyiapkan bukti-bukti, lanjut Ida, juga akan mendukung proses peradilan yang berlangsung di MK. Karena bukti harus disiapkan dalam waktu yang cukup singkat sebelum sidang perdana yang dijadwalkan 6 Agustus nanti. "Kebijakan KPU menyiapkan alat bukti sangat mendukung proses peradilan cepat (speedy trial) dan sederhana," ungkapnya.
Komisioner KPU Juri Ardiantoro menambahkan, secara substantif ketika perkara masuk peradilan. Maka membuka kotak suara untuk keperluan peradilan bisa dimaknai sebagai perintah pengadilan.
"Kan peradilannya MK. Bagaimana KPU akan menjawab dan membuktikan atas keberatan pemohon di persidangan MK kalau tidak menyiapkan bukti otentiknya," kata Juri.
Tim advokasi Prabowo-Hatta melaporkan KPU ke Bawaslu dan DKPP karena mengeluarkan surat edaran kepada KPU Provinsi dan kabupaten/kota. Isi edaran itu memerintahkan pembukaan kotak suara untuk mengecek dan menyalin formulir model A5 dan C7.
Perintah pembukaan kotak suara itu dinilai melanggar aturan pemilu karena dilakukan tidak atas perintah MK, serta tidak melibatkan saksi dari pasangan calon presiden dan wakil presiden 2014.