REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA- Pengamat Tata Negara, Margarito Kamis mengatakan Mahkamah Konstitusi (MK) harus menolak bukti dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang berasal dari kotak suara yang telah dibuka. Hal itu terkait dengan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) presiden dan wakil presiden 2014.
"MK mesti komit kepada praktik yang sudah dilakukan selama ini. Bukti yang (berasal) dari kotak suara yang dibuka dinyatakan sebagai bukti yang tidak memiliki nilai," ujar Pengamat Tata Negara, Margarito Kamis kepada Republika, Senin (4/8).
Ia menuturkan selama ini bila terjadi sengketa dan memerlukan bukti yang harus dihadirkan. Maka, MK biasa memerintahkan kepada termohon membawa kotak suara untuk dibuka dan diperiksa. "Itu yang terjadi selama ini," katanya.
Menurutnya, tindakan KPU memerintahkan KPU Provinsi dan Kab/Kota membuka kotak suara dan disaksikan saksi serta Bawaslu melalui surat edaran tidak lazim dan merupakan tindakan tidak etis. "Kebijakan ko memerintahkan Bawaslu untuk menyaksikan," katanya.
Margarito menegaskan jika telah dibuka maka siapa yang akan menjamin bukti tersebut itu asli atau tidak. "Tindakan (itu) tidak etis. Dalam batas tertentu melanggar hukum dalam beracara di MK," ungkapnya.
Bahkan, menurutnya, cukup beralasan secara hukum jika kelak nanti pengacara dari Prabowo-Hatta menolak mengakui data (bukti) itu dipersidangan.
Namun, ia mengatakan jika MK tidak melakukan itu (menolak bukti) maka bukan berarti sidang PHPU kehilangan marwah. Karena Prabowo-Hatta akan tetap beragumentasi.
Margarito mengingatkan kepada MK dalam proses sidang PHPU nanti tidak terjebak pada opini bahwa sudah ada pasangan calon terpilih. Selain itu, MK bukan mahkamah angka-angka. "Jangan mengerdilkan diri oleh angka-angka. Cek prosedur dan spirit. Jangan terjebak angka-angka," katanya.