Saksi ahli dari tim Prabowo-Hatta, Yusril Ihza Mahendra memberikan kesaksiannya dalam sidang ketujuh Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (15/8).
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra mengatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) di Thailand memiliki kewenangan lebih dalam mengambil keputusan perkara pemilu.
Yusril menyampaikan hal tersebut sebagai saksi ahli Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam sidang perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) pilpres 2014 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (15/8).
Menurut Yusril, MK Thailand bisa memutuskan apakah sebuah pemilu legal atau tidak. "Bukan sekadar angka-angka selisih," kata Yusril menjawab pertanyaan kuasa hukum Prabowo-Hatta, Egi Sujana.
Menurutnya, kasus terakhir di Thailand, pemilu dinyatakan inkostitusional dan ilegal. Sehingga hasilnya dibatalkan.
Namun, katanya, sistem pemerintahan di Thailand berbentuk kerajaan. Sehingga kalau sistem pemerintahan bubar, raja bisa mengambil alih.
Sementara di Indonesia, salah satu kewenangan MK adalah memutus sengketa pemilu antara hasil yang ditetapkan KPU dengan hasil yang benar. "Meski dalam praktik, MK memutuskan ada TSM, MK bukan diatur dalam konstitusi atau undang-undang," imbuhnya.
MK RI, kata Yusril, dihadapkan kendala waktu dan konstitusional akibat amandemen UUD 1945. Jika terlambat, maka akan ada krisis konstitusi yang jika terjadi tidak ada jalan keluarnya.
"Apa yang terjadi pada Indonesia kalau 20 Oktober nanti presiden baru tidak dilantik sementara SBY sudah berakhir masa jabatanya. SBY tidak bisa mengeluarkan dekrit memperpanjang masa jabatan. Maka akan terjadi kekosongan jabatan," kata Yusril.