Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI Jimly Asshidiqie memimpin sidang kode etik Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Jakarta, Kamis (14/8).
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tentang kode etik dalam penyelenggaraan pilpres 2014 telah usai, Jumat (15/8). DKPP akan merundingkan dan segera mengumumkan hasil sidang tersebut.
Pengamat hukum tata negara, Margarito Kamis mengatakan, DKPP dan Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki kewenangan berbeda dalam menyelesaikan masalah pilpres yang digugat Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Karenanya, kata dia, akan jauh lebih baik jika DKPP membacakan putusan sidang kode etik sebelum MK.
Sebab, jika DKPP membacakan putusan sesudah MK, bisa saja menimbulkan masalah hukum yang baru. Yaitu, misal jika DKPP mempermasalahkan komisioner sementara MK tidak.
"Memang dewan kode etik (DKPP) bukan bagian dari MK dan sebaliknya. Tetapi, akan jauh lebih hebat jika DKPP mendahului MK," ujar Margarito kepada Republika, Sabtu (16/8).
Ia menuturkan, dalam putusannya, DKPP bisa saja memengaruhi MK. Yaitu jika putusan DKPP mempermasalahkan komisioner.
Misalnya, kata dia, DKPP menyatakan komisioner KPU melanggar etik karena tidak melaksanakan rekomendasi Bawaslu. Atau membuka kotak suara sebelum diperintahkan MK.
Maka, dua hal tersebut mesti berpengaruh terhadap MK. "Walapun secara hukum dua (lembaga) tunduk pada hukum yang berbeda. Ketika konteknya sama, tidak boleh ada dua putusan yang berbeda. Meski kedua lembaga ini kewenangannya berbeda," ungkapnya.