Rabu 20 Aug 2014 00:44 WIB

Pengamat Ajukan Enam Argumen DPK dan DPKTb Bermasalah

Rep: c87/ Red: Hazliansyah
Petugas melakukan proses pemindaian dan input data formulir model C1 yang digunakan oleh petugas di setiap tempat pemungutan suara (TPS) sebagai media pencatatan jumlah pemilih berdasarkan daftar pemilih tetap (DPT)
Foto: antara
Petugas melakukan proses pemindaian dan input data formulir model C1 yang digunakan oleh petugas di setiap tempat pemungutan suara (TPS) sebagai media pencatatan jumlah pemilih berdasarkan daftar pemilih tetap (DPT)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia, Said Salahudin, mengajukan enam argumen untuk menyatakan Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) Pilpres 2014 bermasalah. 

Pertama, daftar pemilih yang diakui, dibenarkan, dan sah menurut UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pilpres hanya ada satu, yaitu Daftar Pemilih Tetap (DPT). 

"Tidak ada satu norma dalam UU Pilpres, baik secara implisit apalagi eksplisit, yang memerintahkan kepada KPU untuk menyusun Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb)," kata Said melalui rilis kepada Republika, Selasa (19/8).

Kedua, kewenangan yang diberikan UU Pilpres kepada KPU untuk menyusun daftar pemilih bersifat restriktif, yaitu KPU hanya diberi wewenang untuk mengatur yang terkait dengan pemutakhiran, pengumuman, perbaikan Daftar Pemilih Sementara (DPS), dan penetapan DPT. Hal tersebut secara tegas diatur dalam Pasal 29 ayat (6) UU Pilpres.

Ketiga, DPK dan DPKTb bukanlah daftar pemilih yang dimaksud oleh Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009, sebab syarat dan cara yang diatur oleh KPU tentang DPK dan DPKTb justru bertentangan dengan syarat dan cara yang diatur dalam putusan tersebut. Dalam Putusan itu disebutkan bahwa hanya KTP dan Paspor yang diperbolehkan sebagai syarat bagi pemilih untuk memberikan suaranya di TPS. Tetapi KPU justru memperbolehkan Surat Keterangan domisili dari kepala desa/ lurah sebagai pengganti KTP.

"Padahal, dalam putusan tersebut Mahkamah telah menyatakan secara tegas bahwa KPU tidak boleh mengatur syarat administratif pengganti DPT. Syarat administratif lain yang menjadi alternatif DPT hanya bisa diatur oleh pembentuk UU dan MK, yaitu melalui amandemen UU Pilpres, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), dan Putusan MK. KPU tidak bisa membuat norma alternatif dari ketentuan undang-undang. Peraturan KPU kedudukannya adalah dibawah undang-undang dan mereka itu adalah pelaksana undang-undang," terangnya.

Keempat, syarat dan cara yang diatur untuk pemakaian KTP menurut Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009 adalah dengan menyertakan Kartu Keluarga (KK), tetapi aturan itu justru diabaikan oleh KPU. KPU sama sekali tidak mensyaratkan adanya penyertaan KK bagi pemilih DPK dan DPKTb yang menggunakan KTP. Artinya, DPK dan DPKTb itu tidak memenuhi syarat dan cara yang diperintahkan oleh MK.

Kelima, secara sistem, DPK dan DPKTb tidak menciptakan kepastian hukum dan keadilan. Sebab, pemilih DPK dan DPKTb tidak tidak pernah dialokasikan surat suaranya. Mereka tidak mendapatkan jaminan surat suara. UU Pilpres hanya menjamin surat suara bagi pemilih DPT. Surat suara itu hanya dicetak sejumlah pemilih DPT, sebagaimana diatur dalam Pasal 108 ayat (2) dan Pasal 113 ayat (4) UU Pilpres.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement