REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertemuan Capres PDIP Joko Widodo dengan Jusuf Kalla di Bandara Halim menyiratkan duet ini semakin menguat.
"Ini pesan politik dapat dimaknai bahwa keduanya akan berpasangan dalam pilpres mendatang," ujar Dr Heri Budianto, direktur Political Institute (PolcoMM Institute) dalam siaran persnya kepada ROL, Sabtu (3/5).
Menurut Heri, pertemuan Jokowi dan JK itu tentu bukan tanpa alasan. Sebab, kata dia, bila dicermati dari realitas politik selama dua hari ini, Jokowi menyambangi markas Partai Nasdem dan kemudian sinyal yang diberikan petinggi PDIP dan Nasdem bahwa cawapres bagi Jokowi sudah ada satu nama.
"Itu kuat sekali mengarah pada sosok JK," cetus Dosen Komunikasi Politik Universitas Mercu Buana Jakarta itu. Posisi JK sebagai cawapres Jokowi diperkuat dengan bergabungnya PKB dalam koalisi PDIP.
Menurut dia, PKB termasuk partai yang mencalonkan JK sebagai capres. "Saya kira ketika PKB merapat ke PDIP itu dapat juga dibaca bahwa duet ini semakin kuat".
Diakuinya memang ada Mahfud MD, namun kata Heri, pada akhirnya PKB akan realitis menerima karena yang akan menentukan cawapres Jokowi adalah Megawati.
Selain dari itu, berdasarkan survei akseptabilitas yang dilakukan PolcoMM Institute 3 April lalu, memang publik menilai JK paling pantas berpasangan dengan Jokowi. Karena keduanya akan saling mengisi di pemerintahan.
JK diharapkan akan menjadi jembatan pemerintah dengan parlemen dan menjaga stabilitas pemerintahan nantinya.
"Jika duet ini benar-benar terwujud, dan memenangi pilpres maka menariknya adalah Golkar juga akan ada dalam koalisi ini," papar Heri.
Heri memprediksi dalam pilpres pun Golkar akan terpecah dgn majunya JK dalam kontestasi politik, jika Golkar tetap mengajukan ARB sebagai capres.
Apalagi, kata Heri, JK memiliki basis dukungan kuat di akar rumput di Golkar khususnya di wilayah timur. "Kemudian JK juga memiliki pengaruh di beberapa tokoh Golkar yg saat ini ada di struktural atau kepengurusan DPP Golkar, khususnya tokoh-tokoh muda," demikian Heri.