Pedagang menata kaos bergambar Jokowi di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat, Kamis (27/3). (foto: Raisan Al Farisi)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik Universitas Paramadina Herdi Sahrasad menilai kampanye pencitraan "dizalimi" tidak efektif lagi. Karena, masyarakat semakin cerdas dan selektif dengan menerima informasi dari media cetak, elektronik.
"Bisa dimanfaatkan kelompok pak Jokowi untuk memberi kesan dizalimi atau disudutkan. Tapi kesan dizalimi itu tidak efektif karena masyarakat semakin cerdas," kata Herdi Sahrasad dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (10/5).
Herdi menanggapi tulisan "RIP Jokowi" yang sempat beredar di media sosial dan hingga kini pelaku penyebar tulisan tersebut belum diketahui.
Menurut dosen Pasca Sarjana Universitas Paramadina tersebut, apabila tim Jokowi memanfaatkan hal tersebut menjadi kesan disudutkan itu tidak berguna karena masyarakat dapat mengakses berbagai macam informasi dari media cetak, elektronik, maupun sosial.
Herdi mengatakan pencitraan dizalimi terkesan sudah biasa bagi publik karena seringkali diulang-ulang."Pencitraan dizalimi terkesan pengulangan-pengulangan yang memuakkan," kata dia.
Dalam ilmu budaya,lanjutnya, pengulangan ditindas, itu termasuk "mannerism" sudah usang dan tidak terlalu efektif untuk mempengaruhi masyarakat.
Masyarakat saat ini ingin melihat kampanye yang mendidik dengan misi maupun visi yang jelas dan terukur.
Ia mencontohkan dalam visi dan misi tersebut ada cara, mekanisme maupun metode bagaimana memajukan kedaulatan ekonomi.
"Jadi harus dijelaskan bagaimana kebijakan maupun langkahnya. Masyarakat ingin tahu itu," kata dia.