Home >> >>
Kampanye Hitam Marak Sangat Tidak Mencerdaskan
Kamis , 15 May 2014, 18:22 WIB
republika.co.id
Kampanye hitam Jokowi dikabarkan meninggal dunia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Putaran pemilihan umum presiden (pilpres) belum juga dimulai. Namun perang untuk saling menjatuhkan calon presiden (capres) lawan melalaui black campaign atau kampanye hitam sudah mulai digenderangkan. Menjatuhkan lawan dengan menggunakan strategi menyebarkan kampanye hitam selalu menjadi pilihan favorit dalam setiap ajang pemilu.

Isu yang biasa digulirkan dalam kampanye kotor ini anatara lain adalah persoalan bernuansa suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA), korupsi dan asusila. Tentunya kampanye hitam itu tidak mencerdaskan masyarakat.

Pekan lalu di sosial media, antara lain facebook dan twitter beredar gambar ucapan dukacita untuk Ir. Herbertus Joko Widodo atau Jokowi. Desain ucapan dukacita sama seperti iklan pengumuman kematian yang sering dimuat di surat kabar. 

Tim hukum Jokowi, Alenxander Lay menegaskan serangan “Rest in Peace Jokowi” merupakan kampanye hitam itu mencoba untuk membunuh karakter Jokowi dihadapan masyarakat. Sedangkan Sekretaris Jenderal (Sekjen) NasDem, Patrice Rio Capella, mengaku banyak kampanye hitam yang mulai tercium menjelang pemilu. 

''Sejak Pemilu 2004, kampanye hitam digunakan untuk menjatuhkan seseorang atau parpol sudah banyak ditemukan. Jadi sudah tak heran jika sekarang pun merajalela. kampanye hitam itu ibarat sebuah bumbu dari kompetisi yang ketat. Cara-cara pembusukkan tidaklah mencerdaskan, gunakanlah cara-cara pencitraan yang mencerdasakan sehingga demokrasi menjadi sehat,'' ujar Patrice di Jakarta, Kamis (15/5).

Patrice mengakui bahwa kampanye hitam sangat berbahaya, karena bisa membunuh karakter. ''Jika ini tetap dibiarkan berpotensi merugikan masyarakat. Karena masyarakat bisa mendapatkan informasi yang salah. Ini namanya pembohongan publik,'' terangnya.

Ketua DPP NasDem bidang Hukum dan HAM, Taufik Basari meminta kepada masyarakat harus memperhatikan setidaknya dua hal sebelum menentukan capres. ''Yang pertama adalah rekam jejak, dan yang kedua adalah visi misinya capres kedepan,'' tegasnya.

Taufik melanjutkan,  jika masyarakat hanya melihat visi misi saja, itu masih berupa janji-janji saja. Masyarakat harus mencermati apakah visi misi para capres sudah sesuai dengan rekam jejak yang dijalani atau tidak? Cocok atau tidak? Jika cocok itu artinya capres tersebut layak untuk dipilih jika rekam jejak dan apa yang dilakukan benar.

Redaktur : Muhammad Hafil
Reporter : Rusdy Nurdiansyah
  Isi Komentar Anda
Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi republika.co.id. Redaksi berhak mengubah atau menghapus kata-kata yang tidak etis, kasar, berbau fitnah dan pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan. Setiap komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.

Republika.co.id berhak untuk memberi peringatan dan atau menutup akses bagi pembaca yang melanggar ketentuan ini.
avatar
Login sebagai:
Komentar