Home >> >>
Suara Warga NU Sangat Dinamis, Kiai tak Lagi Berpengaruh?
Sabtu , 24 May 2014, 13:06 WIB
NU

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Analis politik Universitas Diponegoro Semarang Susilo Utomo menilai suara warga Nahdlatul Ulama (NU) terlalu dinamis dalam pola dukungan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014.

"Dalam penyelenggaraan pesta-pesta demokrasi serupa, seperti pemilihan kepala daerah (pilkada) kan bisa dilihat, bukan hanya pilpres. Kalangan nahdliyin cenderung otonom dalam memilih," katanya di Semarang, Jumat (23/5).

Menanggapi ditunjuknya mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD sebagai ketua tim pemenangan nasional pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, ia memprediksi belum tentu memengaruhi suara warga NU.

Menurut dia, selama ini warga NU sangat cair dalam menentukan pilihan, dalam artian keberadaan tokoh-tokoh NU dalam salah satu kubu kandidat belum tentu menjamin bisa mendongkrak suara dari kalangan nahdliyin.

"Semisal, pada Pilpres 2004 ketika KH Hasyim Muzadi maju sebagai cawapres berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri. Namun, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla saat itu yang menang," katanya.

Ia mencontohkan beberapa kali pelaksanaan pilkada di Jateng, seperti di Demak, Kudus, Jepara, Kendal, Batang, dan Pekalongan juga memperlihatkan betapa dinamisnya suara warga NU dalam pola dukungan.

"Apalagi, tokoh-tokoh NU selama ini kan tersebar di mana-mana, di semua partai politik. Ada yang di Golkar, Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, dan sebagainya," kata pengajar FISIP Undip tersebut.

Melihat figur Mahfud MD yang lebih dikenal sebagai tokoh intelektual di kalangan NU, ia menilai belum cukup untuk menarik dukungan warga NU ke salah satu kandidat karena nahdliyin memang sangat "cair".

"Bahkan, organisasi-organisasi sayap NU pun bisa memberikan dukungan yang berbeda. Kalau dalam soal agama, nahdliyin patuh dengan tokoh-tokohnya, memang benar. Tetapi, soal pilihan capres bisa berbeda," katanya.

Ia justru melihat penunjukkan Mahfud MD sebagai ketua tim pemenangan Prabowo-Hatta sebagai upaya memengaruhi opini publik karena secara tidak langsung menunjukkan pasangan itu mendapat dukungan luas.

"Kalau saya melihatnya lebih untuk memengaruhi opini publik, istilahnya 'barisan sakit hati' kemudian ikut bergabung dan mendukung. Sebab, jika tujuannya mendongkrak suara di warga NU memang sulit," kata Susilo.

Redaktur : Muhammad Hafil
Sumber : Antara
  Isi Komentar Anda
Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi republika.co.id. Redaksi berhak mengubah atau menghapus kata-kata yang tidak etis, kasar, berbau fitnah dan pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan. Setiap komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.

Republika.co.id berhak untuk memberi peringatan dan atau menutup akses bagi pembaca yang melanggar ketentuan ini.
avatar
Login sebagai:
Komentar