REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga yang dibentuk tokoh Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, The Wahid Institute, menyesalkan langkah kandidat presiden Prabowo Subianto dan wakilnya Hatta Rajasa yang merangkul organisasi Front Pembela Islam (FPI).
Peneliti The Wahid Institute Muhammad Subhi Azhari, di Jakarta, Sabtu, mengatakan, langkah politik Prabowo dan Hatta merangkul FPI secara moral sebagai bakal calon pemimpin tidak memberikan contoh baik kepada masyarakat.
"Kurang bijaksana. Masyarakat akan menilai bahwa calon ini mentoleransi kekerasan. Seakan-akan mentoleransi kekerasan," katanya.
Hatta menghadiri sebuah acara di Jakarta pada Selasa (27/5) lalu yang dihadiri anggota FPI dan pimpinannya Habib Rizieq Syihab. Dalam acara yang juga dihadiri Ketua Majelis Pertimbangan PAN Amien Rais itu, Hatta meminta dukungan dan doa dari anggota FPI.
Sebelumnya, Prabowo secara terbuka mengusulkan perlunya semua pihak merangkul FPI. Menurut Prabowo, pemerintah di pusat dan daerah juga perlu untuk merangkul FPI.
Subhi menyesalkan langkah Prabowo-Hatta merangkul FPI lantaran FPI terkenal sebagai organisasi "menghalalkan" kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Selama ini, aksi FPI menyalahi tradisi kebangsaan yang beragam dan menghargai perbedaan.
"Namun, mereka (Prabowo dan Hatta, red) justru tidak memberikan contoh yang bijak kepada masyarakat Indonesia. Prabowo-Hatta seharusnya bijak dalam mencari dukungan dari kelompok masyarakat," ujarnya.
Berdasarkan laporan hasil riset Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Intoleransi yang dibuat The Wahid Institute tahun 2013, kata Subhi, FPI berada di urutan kedua yang sering melakukan tindakan intoleransi di seluruh Indonesia.
Subhi menjelaskan, bentuk tindakan intoleransi yang dilakukan FPI mulai dari lisan hingga fisik. Tindakan intoleransi yang dilakukan FPI sepanjang tahun 2013 terjadi di banyak daerah di Indonesia, namun hanya sedikit yang diproses secara hukum oleh kepolisian.