REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar ekonomi Universitas Indonesia, Faisal Basri memuji pemaparan landasan program ekonomi Joko Widodo (Jokowi). Antara lain karena mengedepankan keadilan serta penghapusan kesenjangan antara kalangan kaya dan miskin.
"Namun apresiasi itu tidak serta merta menyimpulkan bahwa gagasan ekonomi Jokowi sudah tepat secara keseluruhan. Melainkan masih banyak gagasan yang perlu dikritik," kata Faisal di Jakarta, Rabu (5/6) malam.
Ia mencontohkan, komposisi kurikulum pendidikan untuk pengembangan sumber daya manusia (SDM). "Masa untuk tingkat sekolah dasar dan SMP, porsi pengetahuan dan keterampilan kecil sekali," ujar dia.
Menurutnya, Jokowi memang memaparkan tentang reformasi kurikulum pendidikan yang sangat menunjang pembanguan ekonomi nasional.
Salah satu perubahan di kurikulum pendidikan itu misalnya komposisi materi jenjang sekolah dasar yakni 80 persen didominasi pembentukan sikap dan karakter. Sisanya adalah keterampilan dan pengetahuan.
Di sisi lain, Faisal memuji cara Jokowi memulai pemaparannya mengenai kesenjangan antara kalangan kaya dan miskin yang tercermin dalam koefisien gini (gini ratio).
Jokowi memaparkan meskipun pertumbuhan ekonomi secara nasional selalu di sekitar enam persen, tingkat kesenjangan antara kalangan kaya dan miskin terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Yaitu dari 0,35 pada 2008 menjadi 0,41 pada 2013.
"Jokowi tidak memberi angka. Dia mulai dari inequality (ketidakadilan) dan efisiensi. Kemudian yang dibangun adalah sikap dan pengembangan SDM. Ini penting untuk kualitas tenaga kerja," ujarnya.
Dalam paparannya di hadapan ratusan pengusaha, Jokowi memang membagi tiga garis besar gagasan ekonominya. Yakni pengembangan SDM, ketahanan pangan dan ketahanan energi.
Mengenai ketahanan pangan, Jokowi antara laain membeberkan janji akan membangun 25 bendungan untuk perbaikan kualitas irigasi pertanian. Dia juga menjanjikan kemudahan petani untuk memperoleh akses pasar serta menjamin ketersediaan bibit, benih dan pestisida.