REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil riset terbaru Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menyebutkan kurang dari sebulan pelaksanaan Pilpres pada 9 Juli 2014, selisih keunggulan elektabilitas (dukungan publik) Capres Joko Widodo (Jokowi) terhadap Capres Prabowo Subianto sekitar 6 persen. Hasil survei ini menunjukkan terjadinya lompatan elektablitas kepada Prabowo. Sebaliknya dukungan kepada Jokowi terus melorot.
"Sehingga pertarungan kedua capres makin ketat. Kedua capres masih punya peluang yang sama untuk menang dan saling mengalahkan," kata peneliti senior LSI Adjie Alfaraby kepada pers di Jakarta, Ahad (15/6).
Adjie mengatakan, jika Pilpres dilaksanakan pada waktu survei dilakukan (awal Juni 2014) maka dukungan terhadap Jokowi mencapai 45,0 persen publik (responden), sementara dukungan terhadap Prabowo sebesar 38,7 persen, sedangkan yang belum memutuskan (undecided voters) sebesar 16,3 persen.
Survei yang dibiayai LSI sendiri dilakukan pada 1-9 Juni 2014 dengan menggunakan 2.400 responden di seluruh propinsi di Indonesia. Metode penarikan sampel adalah multistage random sampling dengan margin of error sekitar 2 persen. Survei dilengkapi dengan data-data kualitatif yang didapatkan melalui metode in depth interview, FGD, dan analisis media.
LSI merekam dinamika elektabilitas kedua capres melalui "tracking survey" yang digelar sejak 2013. Data yang tersedia menunjukan bahwa makin mendekati pilpres, selisih elektabilitas kedua capres makin mengecil.
Dari selisih selalu di atas 2 digit di tahun 2013 sampai sebelum deklarasi pasangan capres Mei 2014, kini hanya berselisih 1 digit ketika dimulai masa kampanye pada Juni 2014.
Survei LSI September 2013 selisih kedua capres mencapai 38 persen. Saat itu elektabilitas Jokowi (50,30 persen), sedang elektabilitas Prabowo (11,10 perse). Pada Maret 2014, elektabilitas Jokowi (46,30 persen), sedang elektabilitas Prabowo sebesar (22,10 persen). "Artinya selisih kedua capres turun menjadi 24 persen," kata Adjie.
Pada Mei 2014, elektabilitas Jokowi (35,42 persen), sedang elektabilitas Prabowo (22,75 persen), sehingga selisih kedua capres makin mengecil yaitu 13 persen. Kini survei terbaru LSI, Juni 2014, setelah penetapan kedua capres dan dimulainya masa kampanye Pilpres, selisih kedua capres hanya 6 persen ( Jokowi 45,0 persen vs Prabowo 38,7 persen).
Adjie menjelaskan, mengecilnya selisih kedua capres di satu sisi disebabkan oleh menurunnya dukungan pada Jokowi. Di sisi lain, tingginya lompatan elektabilitas Prabowo. Meski kedua capres mengalami kenaikan elektabilitas jika dibandingkan dengan survei LSI Mei 2014. Namun lompatan elektabilitas Prabowo lebih tinggi dibanding naiknya suara Jokowi.
"Jokowi mengalami kenaikan elektabilitas kurang lebih 9 persen, sementara Prabowo mengalami kenaikan elektabilitas kurang lebih 15 persen," katanya.
Adjie menambahkan, data LSI pada Juni 2014 menunjukkan bahwa pemilih yang pernah mendengar isu kasus penculikan HAM yang diduga melibatkan Prabowo (aktivis gate) hanya 32,8 persen responden.
"Dengan sisa waktu pilpres yang hanya tinggal 24 hari, kubu Prabowo harus mencari cara elegan untuk menghentikan dan merespon isu aktivis gate tersebut. Respon yang salah, emosional dan menutupi justru bisa menjadi 'blunder' yang bisa mengurangi elektabilitas Prabowo," demikian Adjie Alfaraby.
Pemilu Presiden, 9 Juli 2014 diikuti dua pasangan capres dan cawapres, yaitu Prabowo Subianto- Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla.