Home >> >>
Warga Merasa Dirugikan dengan Berlakunya UU Pilpres
Rabu , 18 Jun 2014, 12:35 WIB
Amin Madani/Republika
Gedung Mahkamah Konstitusi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jelang Pemilihan Presiden pada 9 Juli mendatang Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar dua sidang lanjutan pengujian Undang-undang No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) terhadap UUD 1945.

Dalam perkara nomor 52/PUU-XII/2014, warga DKI Jakarta yang keberatan dengan isi UU Pilpres tersebut yakni Yonas Rikasotta dan baiq Oktavianty  merasa dirugikan dengan berlakunya UU No 42 Tahun 2008 tentang Pilpres Pasal 6 ayat (1), Penjelasan Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), dan ayat (2).

Gugatan yang diajukan pemohon  terkait konstitusionalitas pencalonan presiden yang tidak mengundurkan diri dari jabatan kepala daerah. Yonas Rikasotta dan baiq Oktavianty menilai, ketentuan tersebut berpeluang membuat capres baru mengundurkan diri jika terpilih menjadi presiden, namun jika capres tersebut tidak terpilih atau kalah dalam pilpres mendatang, maka ia akan menjabat menjadi gubernur kembali.

Kuasa Hukum Pemohon A.H Wakil Kamal mengatakan, seorang gubernur yang maju nyapres harus mengambil resiko mengundurkan diri dari jabatannya. "Kalau menang atau kalah itu adalah resiko yang harus diambil," katanya.

Seorang capres, ujar Wakil, harus bersikap sebagai negarawan. Kalau mau nyapres namun takut kehilangan jabatan gubernur juga ini merupakan tindakan yang penuh spekulatif dan tidak berani mengambil resiko.

Ibaratnya, kata Wakil, ada seorang suami yang ingin kawin lagi dengan gadis yang cantik, namun dia juga tidak mau menceraikan istrinya. "Kalau lamaran kepada gadis cantik itu ditolak, maka ia akan kembali ke istrinya, itu namanya menyakiti,"katanya.

Kalau UU Pilpres ini dibiarkan begini, ujar Wakil, maka dikhawatirkan nanti ada gubernur-gubernur lain yang ikut nyapres pada masa yang akan datang sebab tidak ada resiko kehilangan jabatan gubernur. "Saya khawatir suatu saat nanti gubernur Jawa Barat bisa ikut nyapres juga,"ujarnya.

Sementara itu, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil memberikan nasihat kepada pemohon untuk lebih merinci kembali atas permohonan kasus yang diajukan. Ia juga menyarankan, agar pemohon dapat lebih menjelaskan terkait jabatan.

"Soal jabatan di lingkungan eksekutif, jabatan di lingkungan yudisial, dan jabatan di lingkungan legislatif, mana yang harus mundur, mana yang tidak. Kasus yang diajukan oleh pemohon saya lihat komparasinya kurang lengkap," kata Ahmad.

Redaktur : Muhammad Hafil
Reporter : Dyah Ratna Meta Novia
  Isi Komentar Anda
Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi republika.co.id. Redaksi berhak mengubah atau menghapus kata-kata yang tidak etis, kasar, berbau fitnah dan pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan. Setiap komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.

Republika.co.id berhak untuk memberi peringatan dan atau menutup akses bagi pembaca yang melanggar ketentuan ini.
avatar
Login sebagai:
Komentar