REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jelang Pemilihan Presiden pada 9 Juli mendatang Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-undang No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) terhadap UUD 1945.
Dalam perkara nomor 52/PUU-XII/2014 pemohon merupakan organisasi Komite Pemerintahan Rakyat Independen (KPRI). Mereka merasa dirugikan dengan berlakunya UU 42 Tahun 2008 tentang Pilpres Pasal 1 angka 2, angka 3, angka 4, Pasal 5 huruf P, Pasal 6 ayat 1, ayat 2, ayat 3, Pasal 7 ayat 1, ayat 2, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat 1, ayat 2, ayat 3, ayat 4, Pasal 11 ayat 1, ayat 2, Pasal 13 ayat 1, ayat 2, ayat 3, Pasal 15 huruf a, huruf b, huruf ca, huruf d.
Presiden KPRI Sri Sudarjo mengatakan, pasal yang mengatur capres dan cawapres yang diusung parpol atau gabungan parpol telah mengebiri hak asasi hukum karena tidak mencantumkan capres dan cawapres independen. "Pemilu yang diusung parpol tidak merepresentasikan pemilihan umum sebagai pelaksana aspirasi berkedaulatan rakyat tapi hanya arena perjudian politik," katanya, Rabu, (18/6).
Pertaruhan kehormatan negara, ujar Sri, menjadi pertaruhan yang bersifat keuangan. Ini juga bagian dari ambisi partai pemilik modal.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Maria Farida menilai permohonan yang diajukan KPRI belum laik untuk pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Ia juga meminta pemohon lebih menjelaskan terkait pasal apa saja yang diujikan.
"Saya mau tanya, yang mau diajukan itu pasal yang mana? Anda harus mengatakan pasal itu yang diuji, kemudian apa yang menjadi suatu permasalahana, mengapa Anda mengajukan pengujian ini," ujar Maria.