REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Menhankam/Pangab Jenderal TNI (purn) Wiranto menjelaskan beberapa alasan dirinya membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) pada 1998. Menurutnya, dalam tubuh TNI ada prosedur yang berlaku terkait perwira menengah atau tinggi jika terlibat satu kasus yang cukup berat.
"Panglima tidak serta merta dapat membuat keputusan yang sangat mungkin akan dipengaruhi kepentingan pribadinya," tutur Wiranto dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (19/6) siang.
Ia mencontohkan, pada 1952, menteri pertahanan saat itu, Sri Sultan HB-IX, membentuk dewan kehormatan untuk menangani perkara kasus Kolonel Bambang Supeno. Sri Sultan, lanjut Wiranto, juga membentuk dewan kehormatan untuk menyelesaikan kasus pergolakan PRRI/ Permesta.
Contoh lainnya, KSAD Jenderal TNI Edy Sudrajad membentuk dewan kehormatan untuk memeriksa Pangdam Udayana Mayjen Sintong Panjaitan. Hal tersebut dilakukan untuk mempelajari keterlibatannya dalam kasus pembantaian di Santa Cruz, Timor Timur pada 1991.
"Dalam kasus penculikan 1998, saya sebagai pangab membentuk DKP untuk memastikan seberapa jauh keterlibatan pangkostrad dalam kasus itu," papar Wiranto.
Kenyataannya, DKP telah memastikan keterlibatan Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto, yang saat kasus penculikan terjadi masih menjabat Danjen Kopassus. Selanjutnya, DKP secara bulat merekomendasikan pemberhentian Prabowo dari dinas keprajuritan. Sedangkan Tim Mawar sebagai pelaku operasional lapangan dilanjutkan pada proses Pengadilan Mahkamah Militer.