Home >> >>
KPK: Delapan Agenda Antikorupsi Capres untuk Pencegahan
Jumat , 27 Jun 2014, 22:20 WIB
Aditya Pradana Putra/Republika
Busyro Muqoddas

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas menegaskan bahwa Delapan Agenda Antikorupsi yang disodorkan KPK kepada pasangan capres-cawapres Prabowo-Hatta dan Jokowi-Kalla merupakan langkah pencegahan untuk berkembangnya korupsi dalam pemerintahan periode 2014-2019.

"Delapan Agenda Antikorupsi itu sendiri merupakan hasil riset kami terhadap kasus-kasus korupsi yang ada selama ini dari mana saja sumbernya, karena itu mahasiswa harus ikut mengawal delapan agenda itu," katanya di hadapan ratusan mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Jumat.

Dalam "Dialog Publik Menuju Pilpres 2014" yang digelar BEM Unair Surabaya itu, ia menjelaskan KPK pada periode pertama KPK memang lebih fokus pada penindakan, tapi periode kedua sudah mengarah pada penindakan dan pencegahan.

"Periode ketiga kali ini fokus pencegahan berbasis riset, seperti riset untuk pencegahan pada 12 ribu izin usaha pertambangan mineral dan batubara (minerba) yang diduga tidak beres, bahkan ada 4.000 izin usaha tanpa NPWP, sehingga tidak bisa ditarik pajak," tuturnya.

Dalam konteks pencegahan itulah, KPK menyodorkan delapan agenda antikorupsi kepada capres, yakni reformasi birokrasi, perbaikan administrasi kependudukan, ketahanan dan kedaulatan pangan, perbaikan infrastruktur, penguatan aparat penegakan hukum, dukungan pendidikan nilai dan keteladanan, perbaikan kelembagaan partai politik, dan peningkatan kesejahteraan sosial.

"Secara riset, delapan agenda antikorupsi itu merujuk pada tertangkapnya 402 pelaku korupsi sejak KPK dibentuk. Dari jumlah itu tercatat 115 pelaku korupsi dari eselon I-III, 95 pelaku korupsi dari pihak swasta, 74 pelaku korupsi dari anggota DPR/DPRD, dan sebagainya," paparnya.

Puncaknya, seorang negarawan dari MK yakni Akil Mochtar dituntut hukuman seumur hidup. Selain dia, ada orang penting di Polri bernama Irjen Pol Djoko Susilo dan ada pula tiga ketua umum parpol yakni Anas Urbaningrum, LHI, dan Suryadharma Ali, serta sejumlah legislator.

"Jadi, kalau presiden dan wapres terpilih tidak menjalankan delapan agenda antikorupsi itu, maka masyarakat, termasuk mahasiswa, dapat mencabut mandatnya melalui DPR/MPR, sedangkan KPK sendiri tidak punya pilihan lain, kecuali melakukan penindakan, baik birokrat, politisi, pihak ketiga (swasta), atau calo-nya," tukasnya.

Menurut dia, presiden/wapres terpilih dapat dikatakan tidak menjalankan Delapan Agenda Antikorupsi bila dalam pemerintahannya ada politisi, birokrat, dan pengusaha busuk dalam kabinetnya.

"Bisa juga dilihat dalam komitmennya pada Pasal 27, 28 (h), dan 33 UUD 1945," katanya dalam dialog publik yang juga menampilkan pakar politik Unair Prof Ramlan Surbakti yang juga mantan Wakil Ketua KPU Pusat (2004).

Dalam kesempatan itu, Prof Ramlan Surbakti menyoroti dua dari Delapan Agenda Antikorupsi yakni reformasi birokrasi dan perbaikan kelembagaan partai politik.

"Persoalan pokok dari korupsi di Indonesia itu bersumber dari birokrasi yang lemah dalam implementasi dan sumber pendanaan parpol," tegasnya.

Menurut Ramlan Surbakti, birokrasi di Indonesia pintar dalam perencanaan, tapi lemah dalam implementasi. "Misalnya, program X tidak dirinci cara mencapainya, sarana yang dibutuhkan untuk mencapainya, dan cara lain untuk mencapainya bila gagal, serta evaluasi program X bila sudah berjalan. Tanpa implementasi yang rinci, maka muncul improvisasi dan itulah sumber korupsi," katanya.

Sementara itu, parpol yang mempunyai dua tugas penting untuk publik, yakni sumber kaderisasi birokrat dan pemegang fungsi perencanaan kebijakan serta anggaran, namun parpol tidak didukung dengan dana dari negara, sehingga parpol banyak mencari dana dari pihak ketiga yang justru mengatur parpol dan akhirnya kebijakan untuk publik menjadi korban,

"Untuk itu, saya usulkan tiga sumber dana untuk parpol yakni iuran anggota, dana publik, dan dana privat. Dengan begitu, dana privat dari pihak ketiga tidak akan mendominasi, karena dana publik dari negara juga besar, sehingga parpol akan bisa bersikap netral, karena mereka merasa didukung negara," tukasnya.

Pilpres 2014 yang berlangsung pada 9 Juli diikuti dua pasangan calon yakni Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Redaktur : Muhammad Hafil
Sumber : Antara
  Isi Komentar Anda
Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi republika.co.id. Redaksi berhak mengubah atau menghapus kata-kata yang tidak etis, kasar, berbau fitnah dan pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan. Setiap komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.

Republika.co.id berhak untuk memberi peringatan dan atau menutup akses bagi pembaca yang melanggar ketentuan ini.
avatar
Login sebagai:
Komentar