Prabowo saat pencoblosan di TPS 02 Desa Bojong Koneng, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (9/7)
REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA-- Tim pemenangan calon presiden (capres) Prabowo Subianto-Hatta Rajasa tingkat provinsi Jawa Timur (Jatim), menolak hasil hitung cepat (quick count) berbagai lembaga survei menyebutkan bahwa capres Joko Widodo-Jusuf Kalla mendapatkan suara terbanyak mengalahkan Prabowo. Tim pemenangan justru mengklaim berdasarkan hasil real count formulir C1, Prabowo menang mendapatkan 51,27 persen suara.
Ketua Tim Pemenangan Prabowo tingkat Jatim Soepriyatno mengatakan, hasil quick count berbagai lembaga survei yang menyatakan Jokowi menang pilpres Rabu (9/7) kemarin bukanlah hitungan yang akurat. Menurutnya, hitungan quick count tidaklah menyeluruh dan menggunakan sampel. Berbeda halnya dengan real count yang hitungannya menggunakan formulir C1.
“Berdasarkan hasil penghitungan real count yang diketuai Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Prabowo memperoleh 51,27 persen dan Jokowi 48,73 persen,” ujarnya pasa Republika, Kamis (10/7).
Diakuinya, Jatim sebenarnya merupakan basis partai yang mengusung Jokowi yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan koalisi PDIP yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Namun, kata dia, pihaknya mengklaim berhasil mengalihkan dukungan suara kyai Nahdlatul Ulama (NU) dari PKB ke Prabowo.
Selain itu, kata dia, Prabowo diklaim mendapatkan dukungan suara dari tokoh-tokoh senior PDIP. Tokoh-tokoh senior itu, dia melanjutkan, menilai Jokowi bukan putra biologis proklamator Indonesia Soekarno. Akhirnya tokoh senior PDIP bergeser memilih Prabowo.
Soepriyatno menyebutkan, perolehan suara terbanyak untuk Prabowo terjadi di kota atau kabupaten seperti di Madura yaitu Sampang, Bangkalan, Sumenep, dan Pamekasan. Selain itu wilayah Kabupaten Gresik, Lamongan dan daerah tapal kuda seperti Pasuruan, Probolinggo, Situbondo menjadi basis suara terbanyak Prabowo.
Ia mengklaim data real count yang diperolehnya akurat. Tingkat kesalahan, kata dia juga hanya 3,3 persen. Pihaknya bahkan berani adu data real count yang dipegangnya dengan lembaga survei lain bahkan KPU karena memiliki landasan hitungan yang kuat yaitu formulir C1.
Untuk itu, menurutnya lembaga-lembaga survei yang merilis hasil quick count lebih baik ditiadakan. Hasil quick count survei itu ditudingnya tidak akurat karena ada keberpihakan. Celakanya, kata dia, hasil quck count menggiring publik ke opini tertentu bahwa si capres Jokowi yang menang.
“Untuk itu, lebih baik tidak ada lembaga survei dan menggunakan real count,” ujarnya.