REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Ari Dwipayana mengatakan keberadaan lembaga survei yang mengumumkan hitung cepat (quick count) perolehan suara dalam Pemilu perlu diaudit agar mendapat kepercayaan publik.
Ari dalam keterangan di Jakarta, Kamis, mengatakan hasil yang beragam dalam hasil penghitungan cepat atas persentase perolehan suara dalam Pemilu Presiden dan Wapres 9 Juli 2014 seharusnya tidak perlu terjadi.
"Ini seharusnya tidak terjadi jika lembaga survei konsisten dalam menerapkan metodologi dan berjalan dalam kaidah kaidah etika surveyor," katanya.
Ia mengatakan dengan metode hitung cepat (quick count) yang sama, seharusnya hasil yang diperoleh juga sama.
Ari menambahkan kasus keberagaman hasil hitung cepat itu menunjukkan adanya pengelompokan.
Ia mencatat ada delapan lembaga survei yang memprediksi kemenangan pasangan capres dan cawapres, Jokowi-JK, dengan selisih?sampai 1,9 - 6,74 persen sedangkan empat embaga survei lain mengunggulkan pasangan Prabowo-Hatta dengan selisih 0,28-4,1 persen.
Ia mencontohkan hal menarik, RRI yang merupakan lembaga penyiaran publik, hasil hitung cepatnya menunjukkan kemenangan Jokowi-JK 52,71 persen di atas suara Prabowo Hatta 47,29 persen.
"Jadi faktor kredibilitas lembaga survei jadi rujukan utama dalam menilai sejauhmana hasil hitung bisa dipercaya," kata Ari.
Menurut Ari, fenomena itu menyiratkan urgensi audit lembaga survei dari sisi pertanggungjawaban metodologi maupun sumber dananya.
Tanpa itu, katanya, lembaga survei hanya akan menjadi alat untuk propaganda politik dan digunakan sebagai alat politik pragmatisme oleh pihak yang takut kalah, dan akhirnya membodohi rakyat," tukas Ari.